Sejak pertengahan 1970-an, rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto sudah menyadari pentingnya memberantas pungli dan korupsi. Hanya, langkah yang ditempuh lebih bersifat senyap melalui operasi intelijen. Nyaris tanpa drama sekalipun terjadi operasi tangkap tangan seperti yang dilakukan oleh KPK.
Tradisi itu dilanjutkan Marsekal Pertama Kahardiman saat memimpin Optib Pusat untuk mengawasi keuangan negara atas perintah Pangab/Pangkopkamtib Jenderal LB Moerdani. Dia lebih banyak berkoordinasi dengan Kapolri dan Jaksa Agung. "Kamu jangan cari popularitas melalui Opstib, tidak perlu dekat dengan wartawan," titah Benny Moerdani.
Hal ini tertuang dalam biografi 'Hakim Agung Kahardiman, dari Oditur, Opstib, hingga Arbiter' yang disusun Andry Hariana dan CB Purnomo. Buku setebal 430 halaman ini diterbitkan Kompas dan mulai beredar sejak akhir 2023.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sosok Kahardiman dikisahkan sebagai sarjana hukum lulusan UGM yang kemudian berkarier di lingkungan AURI (TNI AU). Padahal sang ayah, Soehirman, sebetulnya berharap putranya itu menjadi eksekutif ternama di lembaga keuangan. Berpenampilan necis, bergaji besar, dan ke mana-mana mengendarai mobil kinclong. Namun Kahardiman diam-diam justru melamar menjadi perwira Angkatan Udara.
"Bapak dengar, kerja di AURI itu gajinya kecil. Kamu harus siap miskin," kata sang ayah. Meski masygul, Soehirman akhirnya mengizinkan Kahardiman memilih jalan hidupnya sendiri. Sebuah keputusan yang boleh jadi secara ekonomi mendekati bayangan ayahnya, tapi memberinya kepuasan batin dan kebahagiaan lain yang sifatnya nonmateri. Kekayaan yang membuatnya wise dalam melakoni kehidupan yang tak selalu mulus.
Dalam kariernya di TNI AU, sebagai perwira muda, Kahardiman bersinggungan langsung dengan banyak tokoh besar di republik ini. Dari luar kesatuannya, lelaki kelahiran Yogyakarta, 1 Mei 1936, itu antara lain berinteraksi dengan Ali Said, yang kemudian menjadi Jaksa Agung, lalu Ketua Mahkamah Agung Ismail Saleh (Menteri Kehakiman), Laksamana Sudomo (Pangkopkamtib, Menteri Tenaga Kerja, dan Menko Polkam), Sudharmono dan Try Sutrisno (wakil presiden), Jenderal LB Moerdani (Pangab/Menhankam), dan sejumlah tokoh sipil-militer lainnya.
Bukan persinggungan sambil lalu, tapi Kahardiman memberikan andil atau peran cukup substansial dalam setiap interaksi yang terjadi. Tentu dalam kapasitas dirinya sebagai perwira dengan pengetahuan ilmu hukum yang mumpuni.
Di awal kariernya saat menjadi oditur (jaksa militer), Lettu Kahardiman diminta menangani kasus pilot muda yang ditinju hingga KO oleh atasannya Komodor Leo Wattimena. Dia pilot legendaris yang dikenal keras, temperamental. Gentar? Tentu saja. Betapapun Kahardiman baru perwira pertama, sedangkan yang dihadapi seorang jenderal bintang satu. Meski begitu, hasilnya memuaskan semua pihak tanpa dirinya sendiri ikut menjadi korban, kena KO.
Pasca-Gerakan 30 September 1965, karena kecakapannya di bidang hukum, Kahardiman terpilih menjadi oditur termuda dalam Mahkamah Militer Luar Biasa (Mamilub) G30S. Dia beberapa kali naik pangkat, sementara setiap kali harus menuntut para perwira yang punya kepangkatan lebih tinggi. Ketika ada temannya yang terkagum-kagum dengan pangkat letkol yang disandangnya, Kahardiman dengan santai menukas, "Iki letkol badut-badutan, tenane aku kapten."
Sebagai oditur, Kahardiman pernah mendakwa Brigjen MS Soepardjo melakukan makar dan menuntutnya hukuman mati. Hakim mengabulkan dan vonis mati dilakukan pada 15 Mei 1970.
Rekam jejaknya di Mahmilub mengantar Mayor Kahardiman yang sudah lulus Sesko AU masuk ke Kopkamtib pada 1973. Di lembaga superbodi inilah dia berinteraksi langsung dengan para tokoh kunci di dunia militer, seperti Jenderal Yoga Sugama, Laksamana Sudomo, dan Jenderal LB Moerdani. Kahardiman antara lain dipercaya membuat analisis terkait peristiwa Malari.
Baca juga: Patung Sukarno dan Politik Simbolik |
Di kemudian hari, dia juga terlibat dalam penanganan krisis keuangan di Pertamina saat dipimpin Ibnu Sutowo. Bersama pengacara Albert Hasibuan dan Brigjen Djaelani, Kahardiman turut merekomendasikan agar rekening Achmad Tahir, asisten Dirut Pertamina, senilai 8,3 juta DM diblokir.
Memasuki awal 1990-an, sebagai Kepala Opstib, Kahardiman menyaksikan langsung bagaimana Keluarga Cendana terlibat persaingan bisnis di antara mereka. Salah satunya persaingan antara Bambang Trihatmodjo dan Tommy Soeharto dalam proyek tol Tangerang-Merak.
Juga terjadi persaingan dalam proyek pemindahan kantor Kedutaan Uni Soviet ke kawasan Kuningan antara Mbak Tutut dan Bambang. Untuk proyek pertama akhirnya dikerjakan oleh Tommy dan lahan di Kuningan untuk Kedutaan Soviet menjadi milik sah Bambang Tri.
Ketika memasuki usia pensiun di TNI AU, Kahardiman ditarik menjadi Hakim Agung. Di lingkungan Mahkamah Agung, dia menyaksikan bagaimana praktik mafia peradilan berlangsung dengan kasatmata.
Banyak informasi dan pengalaman menarik yang dikisahkan Kahardiman dalam buku ini. Kisah yang memberikan konteks apa yang terjadi di masa lalu dan masa kini. Kisah dari sosok berintegritas yang jauh dari ingar-bingar pemberitaan media massa tapi sangat layak diteladani.
(jat/jat)