Unhan Bahas Isu Indo-Pasifik, Rohingya, hingga Konflik Papua

Unhan Bahas Isu Indo-Pasifik, Rohingya, hingga Konflik Papua

Rizky Adha Mahendra - detikNews
Jumat, 05 Jan 2024 14:04 WIB
Diskusi di UNHAN mengenai geopolitik, 5 Januari 2024. (Rizky Adh Mahendra/detikcom)
Diskusi di Unhan mengenai geopolitik, 5 Januari 2024. (Rizky Adh Mahendra/detikcom)
Jakarta -

Universitas Pertahanan (Unhan) menggelar focus group discussion (FGD) terkait kerentanan di wilayah Indo-Pasifik, serta Indo-Pacific Strategic Intelligence (IPSI). Diskusi dihadiri akademisi dari Unhan.

Diskusi digelar di gedung Pascasarjana Unhan, Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, Jumat (5/1/2024).

Hadir dalam diskusi tersebut Wakil Rektor Bidang Akademik dan Perencanaan Unhan Laksma TNI Agus Adriyanto. Hadir pula Guru Besar Hubungan Internasional Unhan Prof Anak Agung Banyu Perwita.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam kesempatan itu, Laksma Agus membahas mengenai isu pengungsi Rohingya di Indonesia. Dia sedikit mengulas mengenai awal mula krisis kemanusiaan di Myanmar terjadi.

"Saya mengambil sisi mulai dari ketika terjadinya kudeta di tahun 2021. Jadi ketika masuk pada fase krisis di mana eskalasi kekerasan dan diskriminasi itu terhadap etnis Rohingya sebenarnya sudah terjadi beberapa dekade yang lalu. Sehingga itu dimulai dari masuknya Islam dan sebagainya," kata dia.

ADVERTISEMENT

"Saya mulai pada fase di mana terjadinya tindakan represif dari pemerintah Myanmar yang memicu gelombang pengungsian para komunitas Rohingya. Itu tidak hanya terjadi krisis kemanusiaan saja, namun juga terjadi pelanggaran HAM dan kegagalan proyek pemerintah dalam melindungi warga minoritas," lanjutnya.

Laksma Agus mengatakan kudeta militer pada 2021 memperburuk situasi dalam negeri Myanmar. Kekerasan dan ketidaknyamanannya meningkatkan saat itu.

"Sehingga banyak warga Rohingya yang mencari perlindungan di negara tetangga. Akibatnya, terjadi beban terhadap beberapa negara tetangga, yaitu Bangladesh, Thailand, Malaysia, Indonesia, dan beberapa negara yang walaupun jumlahnya kecil," ujarnya.

Menurut dia, persoalan tersebut cukup memicu dinamika sosial politik di Indonesia. Pada titik tersebut, pemerintah Indonesia dituntut menangani secara hati-hati.

"Tidak hanya Indonesia, tapi juga harus membicarakan itu pada komunitas, khususnya negara-negara yang anggota ASEAN," ujarnya.

Berdasarkan data dari UNHCR yang dilansirnya, sebanyak 52 persen pengungsi Rohingya merupakan anak-anak. Sehingga tantangan yang dihadapi Indonesia cukup signifikan.

"Meski relatif kecil, tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menangani isu ini cukup signifikan, karena berkaitan dengan kemanusiaan, keselamatan, juga hukum-hukum internasional yang berlaku saat ini," terangnya.

Menurutnya, Indonesia belum mengaktivasi Konvensi Pengungsi 1951. Sehingga tidak memiliki kerangka hukum formal yang baik untuk para pengungsi. Namun dengan alasan kemanusiaan, bantuan tetap diberikan.

"Namun karena ini sifatnya kemanusiaan, jadi kita harus tetap menyediakan perlindungan sementara dan bantuan kemanusiaan, itu khusus untuk yang sudah telanjur sampai ke Indonesia," jelasnya.

"Bantuan yang diberikan oleh pemerintah Indonesia yaitu perlindungan sementara, makanan, peralatan, dan pendidikan," sambungnya.

Laksma Agus menyampaikan tantangan Indonesia dalam usus pengungsi Rohingya. Salah satunya terkait dengan ketersediaan sumber daya.

"Dari sini kita melihat ada tantangan dan peluang yang ada. tantangan yang terjadi adalah memang keterbatasan sumber daya, baik itu sumber daya manusia, sumber daya untuk pendukung makanan dan sebagainya, dan penampungan. juga kebutuhan akan integrasi sosial, dan ketidakpastian status hukum jangka panjang bagi pengungsi. ini juga menjadi concern yang dipikirkan oleh Indonesia saat ini," ungkapnya.

Kerja sama regional negara ASEAN, lanjutnya, perlu dilakukan. Karena Myanmar sendiri merupakan bagian dari negara ASEAN.

"Indonesia telah berupaya memberikan respons manusiawi terhadap krisis pengungsi Rohingya, dan kita telah mencerminkan komitmen negara terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan solidaritas internasional," bebernya.

Sementara itu, Prof Banyu membahas mengenai isu konflik di Papua. Dia mengingatkan bahwa konflik di Papua bukan hal yang baru terjadi.

"Sebagai pengantar, mungkin kita semua belum sadar bahwa konflik Papua ini sudah berlangsung lebih dari 60 tahun. awalnya mungkin 1 Mei 1963," kata dia.

Persoalan yang saat ini dilihatnya adalah, apakah konflik di sana hendak diselesaikan atau di-manage.

"Jadi persoalan pertama adalah menyelesaikan masalah di Papua atau me-manage konflik. Buat saya, menyelesaikan masalah dengan me-manage konflik itu dua hal yang sangat berbeda," ungkap dia.

Ada dua hal yang, menurutnya, juga penting diperhatikan, yaitu konteks geopolitik dan hubungan internasional. Bagaimana kepentingan global dalam menjadi Indo-Pasifik, salah satunya di Papua, menjadi penting.

"Kita juga harus memperhatikan konteks geopolitik dan hubungan internasional. Jadi misalnya saja ketika bicara bicara geopolitik dan hubungan internasional, itu tidak bisa dilepaskan oleh begitu banyak aktor, sektor, yang terlibat di Indonesia. salah satunya tentu bicara Kementerian Luar Negeri," jelasnya.

Menurut dia, isu konflik di Papua tidak hanya dilihat dalam satu aspek saja. Isu tersebut harus dilihat secara keseluruhan. Dia memberi salah satu contoh saat pemakaman mantan Gubernur Papua Lukas Enembe beberapa waktu lalu.

"Tidak bisa kita melihat isu Papua pada satu aspek saja, sehingga kita harus melihatnya secara keseluruhan. Yang menarik kemarin saya pikir ketika pemakaman mantan Gubernur Papua, ketika orang kemudian bisa berkomentar apa pun di social media, tapi bagaimana kelompok orang sangat mencintai beliau, meski kita tahu bahwa beliau merupakan tersangka korupsi dan sebagainya. Jadi harus banyak hal yang kita perhatikan," sebutnya.

(rdh/dnu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads