Mantan Gubernur Papua Lukas Enembe meninggal dunia. KPK pun menghentikan penyidikan kasus yang sempat menjerat Lukas sebagai tersangka.
Lukas Enembe meninggal dunia di RSPAD, Jakarta Pusat, pada Selasa (26/12/2023). Lukas Enembe meninggal saat menjalani masa hukuman 10 tahun penjara atas kasus suap dan gratifikasi.
Di sisi lain, Lukas Enembe juga dijerat KPK sebagai tersangka dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU). KPK pun menyatakan kasus itu dihentikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berikut tiga fakta perkara disetop KPK usia Lukas meninggal dunia:
Perkara TPPU yang Disetop KPK
KPK sempat mengumumkan Lukas Enembe sebagai tersangka dugaan TPPU. KPK juga sempat mengungkap sejumlah aset yang diduga terkait TPPU Lukas, mulai dari uang tunai Rp 81,6 miliar, tanah dan hotel yang berdiri di atasnya senilai Rp 40 miliar hingga koin emas bertuliskan Property of Mr Lukas Enembe senilai Rp 41 juta.
"Aset-aset tersebut diduga diperoleh tersangka LE dari tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji dan gratifikasi terkait proyek pembangunan infrastruktur di Provinsi Papua serta tindak pidana korupsi lainnya," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di gedung KPK, Jakarta Selatan, Senin (26/6/2023).
Menurut KPK, total aset yang telah disita terkait dugaan TPPU Lukas Enembe berjumlah Rp 144,5 miliar. Namun, jumlah itu belum final karena masih dalam proses perhitungan.
"Sejauh ini untuk jumlah sementara sekitar Rp 144,5 miliar karena masih ada beberapa aset yang masih ada dalam proses taksiran nilai dan harganya," kata Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri saat dihubungi, Selasa (27/6/2023).
Kasus Disetop karena Lukas Meninggal Dunia
Kini, KPK menyatakan penyidikan kasus dugaan TPPU tersebut telah dihentikan. Pengehentian penyidikan dilakukan demi hukum karena Lukas Enembe meninggal dunia.
"Sepengetahuan saya, dengan meninggalnya Tersangka, maka hak menuntut, baik dalam perkara tindak pidana korupsi maupun TPPU, berakhir demi hukum," kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak kepada detikcom, Selasa (26/12/2023).
KPK Nilai Negara Bisa Tuntut Ganti Rugi
Meski kasus dihentikan, menurut Tanak, negara bisa mengajukan ganti rugi terkait dugaan tindak pidana yang menjerat Lukas. Dia menyebut gugatan itu bisa diajukan lewat proses perdata.
"Tetapi negara masih mempunyai hak menuntut ganti rugi keuangan negara melalui proses hukum perdata dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri," kata Tanak.
"Untuk melaksanakan hak menuntut kerugian keuangan negara melalui proses gugatan dalam hukum perdata, KPK harus menyerahkan seluruh berkas perkara almarhum Enembe kepada kejaksaan agar jaksa pengacara negara (JPN) dapat mengajukan gugatan ganti kerugian keuangan negara melalui pengadilan negeri," imbuhnya.
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.
Saksikan Live DetikPagi:
Saksikan Video '3 Hal Tentang Lukas Enembe yang Meninggal Dunia':
Aturan Penghentian Perkara
Penghentian perkara karena Lukas meninggal dunia itu dilakukan KPK berdasarkan sejumlah aturan. Salah satunya ialah pasal 40 Undang-Undang nomor 19 tahun 2019 tentang KPK. Berikut isinya:
Pasal 40
(1) Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun.
(2) Penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat 1 (satu) minggu terhitung sejak dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan.
(3) Penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diumumkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi kepada publik.
(4) Penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dicabut oleh Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi apabila ditemukan bukti baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan dan penuntutan, atau berdasarkan putusan praperadilan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan.
Selain UU KPK, aturan soal penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) juga terdapat dalam KUHP dan KUHAP. Dalam KUHP, terdapat pasal yang mengatur bahwa proses hukum terhadap suatu kasus dinyatakan berhenti jika tersangka meninggal dunia.
Berikut aturannya:
Pasal 77
Kewenangan menuntut pidana hapus, jika tertuduh meninggal dunia.
Pasal 83
Kewenangan menjalankan pidana hapus jika terpidana meninggal dunia.
KUHAP juga mengatur soal penerbitan SP3. Berikut aturannya:
Pasal 109
(2) Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.
(3) Dalam hal penghentian tersebut pada ayat (2) dilakukan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, pemberitahuan mengenai hal itu segera disampaikan kepada penyidik dan penuntut umum.