DPR Soroti Kurangnya Perempuan di Pemilu, Akademisi: Harus Ditindak KPU

Erika Dyah Fitriani - detikNews
Jumat, 08 Des 2023 16:48 WIB
Foto: Dok. Istimewa
Jakarta -

DPR menyoroti kurangnya keterwakilan perempuan dalam Pemilihan Legislatif (Pileg 2024). Pengajar pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Titi Anggraini menilai hal ini harus ikut diperhatikan KPU sebagai penyelenggara pemilu.

Titi mengatakan Bawaslu telah memutuskan KPU melakukan pelanggaran administrasi mengenai target keterwakilan caleg perempuan yang seharusnya sebesar 30 persen. Bawaslu membuat putusan atas Perkara Pelanggaran Administratif Pemilu (PAP) No.010/LP/ADM.PL/BWSL/00.00/XI/2023 yang menyimpulkan KPU secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran administratif pemilihan umum (pemilu). Putusan tersebut atas pelaporan dari Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan.

Ia menerangkan pelanggaran tersebut terjadi karena dalam menetapkan 267 daftar calon tetap (DCT) anggota DPR pada Pemilu 2024, KPU terbukti tidak menegakkan ketentuan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen dalam pengajuan daftar calon sebagaimana diatur dalam Pasal 245 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

"Dukungan DPR pada pemenuhan keterwakilan perempuan dalam pencalonan Pemilu 2024 harus segera ditindaklanjuti KPU secara konkret," kata Titi dalam keterangan tertulis, Jumat (8/12/2023).

Ia menambahkan sejumlah anggota DPR memberi sorotan dan meminta KPU menjadikan keputusan Bawaslu sebagai momentum untuk memastikan keterwakilan perempuan di arena politik tidak diabaikan. Titi sepakat dengan DPR yang menyebut kurangnya partisipasi perempuan dalam pemilu dapat berdampak pada demokrasi di Indonesia.

"Demokrasi akan mengalami regresi apabila keterwakilan perempuan dilemahkan," ujar peneliti Kepemiluan dan Demokrasi Indonesia itu.

Lebih lanjut, Titi mengingatkan KPU untuk mematuhi keputusan Bawaslu, apalagi sudah banyak dukungan dari DPR. Ia menyebut selama ini KPU sering beralasan keterlambatan pelaksanaan putusan MA terkait keterwakilan perempuan sering terkendala oleh persetujuan dari DPR.

"Apalagi KPU sebagai pelaksana UU mesti menyelenggarakan tahapan pemilu sesuai dengan apa yang menjadi perintah UU dan mutlak ambil peran dalam penguatan praktik demokrasi Indonesia," terang Titi.

"Ketika ada dukungan dari legislator parlemen untuk pemenuhan keterwakilan perempuan sebagaimana Putusan MA dan juga Putusan Bawaslu, maka tidak ada lagi alasan bagi KPU untuk tidak melaksanakannya," sambungnya.

Titi menilai revisi PKPU Nomor 10 Tahun 2023 akan menghapus diskriminasi dan mewujudkan keadilan serta kesetaraan perlakuan bagi perempuan. Terlebih, keterwakilan perempuan dalam pemilu banyak diatur dalam berbagai produk legislasi.

Ia menyebut porsi keterwakilan perempuan ini sejalan dengan amanat dari Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan atau Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women (Konvensi CEDAW) PBB.

"Afirmasi keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen adalah amanat Konstitusi, CEDAW, dan juga UU Pemilu. Mestinya semua elemen negara, baik KPU maupun partai politik, sepenuhnya mematuhi setiap upaya untuk mewujudkan keterwakilan perempuan di ranah politik melalui suatu proses pemilu," tegasnya.




(anl/ega)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork