Yusril mendalilkan dengan dilakukannya amendemen terhadap pasal-pasal yang mengatur keberadaan MPR di dalam UUD 1945 serta dihapuskannya Penjelasan sebagai bagian yang tidak terpisahkan undang-undang dasar tersebut, maka telah terjadi perubahan yang fundamental dari MPR sebagai satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat dan merupakan 'lembaga tertinggi negara'.
Gugatan tersebut masih dalam tahap persidangan di MK. Salah satu ahli yang dihadirkan, yaitu mantan Panitia Ad Hoc I BP MPR RI Jacob Tobing.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam sidang, Jacob Tobing menyatakan keinginan Yusril untuk mengembalikan kewenangan MPR untuk menetapkan Ketetapan MPR yang bersifat mengatur, tidak bisa dipahami hanya sebagai sebuah aturan konstitusi yang berdiri sendiri.
"Kewenangan itu akan merombak seluruh sistem, paling tidak akan menimbulkan kerancuan," ujar Jacob.
Dia menuturkan, dalam UUD 1945, tidak ada kewenangan MPR untuk membentuk Ketetapan MPR sebagai produk hukum yang bersifat mengatur. Dia mengatakan hal tersebut jelas tidak disebutkan dalam UUD 1945.
"Jelas seluruh pasal UUD 1945 dari pasal 1 sampai dengan pasal 37 dan juga seluruh ketentuan pasal-pasal peralihan dan aturan tambahan tidak ada kewenangan MPR untuk membentuk Ketetapan MPR sebagai produk hukum yang bersifat mengatur atau regeling," tutur Jacob.
Jacob menjelaskan, terdapat Pasal 4 ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan, presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan. Selanjutnya, Pasal 12 UUD 1945 menyatakan, presiden memegang kewenangan untuk menyatakan keadaan bahaya. Mengacu pada Pasal 10 UUD 1945 yang menyatakan presiden memegang kekuasaan tertinggi atas angkatan darat, angkatan laut, dan angkatan udara, presiden dapat mengambil langkah-langkah efektif yang diperlukan dengan segera.
Selain itu, jika presiden berhalangan tetap dan/atau tidak dapat melakukan kewajibannya, terdapat Pasal 8 ayat 1 UUD 1945 yang mencegah terjadinya kekosongan kekuasaan. Ketentuan tersebut mengatur bahwa presiden dapat digantikan wakil presiden sampai habis masa jabatannya.
"Dengan demikian, pada waktu krisis kekuasaan itu bisa dipusatkan pada satu orang presiden, dan oleh karena itu pengambilan langkah awal yang diperlukan untuk mengatasi keadaan krisis dapat lebih efektif daripada jika langkah tanggap cepat itu harus diambil melalui rapat lintas berbagai lembaga instansi," jelas Jacob.
(asp/haf)