Orang bijak, taat pajak. Tapi bagaimana bila ada petugas pajak malah mencoba memeras wajib pajak? Apakah ada langkah hukumnya?
Hal itu menjadi pertanyaan pembaca detik's Advocate. Pembaca lainnya bisa menanyakan pertanyaan serupa dan dikirim ke e-mail: redaksi@detik.com dan di-cc ke andi.saputra@detik.com. Berikut ini pertanyaan pembaca:
Saya mengalami pemerasan oleh pihak Pajak Kanwil Kota M
Apakah bisa ditindaklanjuti ya pak ?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya punya bukti:
1. Chat WA dengan pemeriksa pajak Kanwil Kota M
2. Surat keputusan yang tidak disetujui setelah saya tidak mau memberikan uang
3. Surat untuk pencabutan laporan pengaduan oleh pihak pajak
Terima kasih
HT
Untuk menjawab pertanyaan pembaca detik's Advocate di atas, kami meminta pendapat advokat Chessa Ario Jani Purnomo. Berikut ini penjelasan lengkapnya:
Perkenankan saya, Chessa Ario Jani Purnomo selaku advokat/kuasa hukum pajak pada Ario, Basyirah & Partners Law Firm (ABP Law Firm, Tangerang Selatan) dan dosen Fakultas Hukum Universitas Pamulang untuk menjawab atas pertanyaan dari bapak/ibu SHT di atas. Berikut ini uraiannya.
Pertama, ketika kita berbicara pemeriksaan pajak memiliki pengertian berikut:
"Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan."
Sebagaimana maksud ketentuan Pasal 1 angka 8 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan (PP Nomor 50 Tahun 2022). Diketahui, PP Nomor 50 Tahun 2022 merupakan turunan dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU Nomor 7 Tahun 2021).
Selanjutnya, yang dimaksud frasa 'suatu standar pemeriksaan' di atas meliputi standar umum pemeriksaan, standar pelaksanaan pemeriksaan, dan standar pelaporan hasil pemeriksaan sebagaimana ketentuan Pasal 6 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan (PMK Nomor 17/PMK.03/2013). Kemudian, frasa 'untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain' memiliki makna kepatuhan formal antara lain surat pemberitahuan tahunan mesti diisi secara benar dan lengkap dan material antara lain jelas objek pajaknya (apakah Pajak Penghasilan atau Pajak Pertambahan Nilai) (Gunadi, 2020).
Lebih jauh, pemeriksaan pajak (tax audit) dapat dijelaskan dari segi ilmu administrasi dan kebijakan perpajakan bahwa pemeriksaan pajak sedemikian rupa dibenarkan sepanjang berbasis bukti (evidence-based) di mana bukti tersebut menunjukkan hitungan jumlah pajak terutang, pembayaran dan pelaporannya dilakukan oleh pebayar pajak di bawah self-assessment system tidak mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya (Gunadi, 2020).
Kedua, dalam pelaksanaan pemeriksaan pajak diduga ada percobaan pemerasan atau pungutan liar oleh pemeriksa pajak yang dialami oleh bapak/ibu STH, meski bapak/ibu STH tidak mau memberikan uang. Akan tetapi, kalimat 'tidak mau memberikan uang' dari bapak/ibu STH tidak ada keterangan lebih lanjut dalam hal kepada siapa dan untuk apa.
Maka, atas pernyataan 'tidak mau memberikan uang' dari bapak/ibu STH diasumsikan oleh penulis sebagai dugaan percobaan pemerasan atau pungutan liar dalam proses pemeriksaan pajak oleh pemeriksa pajak.
Pada titik ini, ketentuan Pasal 43A ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 2021 mengatur:
"Apabila dari bukti permulaan ditemukan unsur tindak pidana korupsi, pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang tersangkut wajib diproses menurut ketentuan hukum Tindak Pidana Korupsi."
Selanjutnya, ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Nomor 31 Tahun 1999) berbunyi:
"Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14."
Lebih jauh, ketentuan Pasal 12 huruf e Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Nomor 20 Tahun 2001) berbunyi:
"Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): ...
e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri."
Berdasarkan ketentuan Pasal 43A ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 2021 dan ketentuan Pasal 15 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. ketentuan Pasal 12 huruf e UU Nomor 20 Tahun 2001 terkonfirmasi hal-hal berikut:
KESATU, secara jelas dan terang bahwa UU Nomor 7 Tahun 2021 menundukkan diri kepada UU Nomor 20 Tahun 2001 dalam hal pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ditemukan unsur tindak pidana korupsi diproses menurut undang-undang di bidang tindak pidana korupsi.
KEDUA, penerapan ketentuan Pasal 43A UU Nomor 7 Tahun 2021 dan ketentuan Pasal ketentuan Pasal 15 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. ketentuan Pasal 12 huruf e UU Nomor 20 Tahun 2001 berlaku asas lex specialis systematis antara lain bermakna objek dari definisi umum diatur lebih lengkap dalam kerangka ketentuan khusus atau subjek hukum (adresat) dalam undang-undang bersifat khusus (Hiariej, 2016; Hiariej, 2021).
KETIGA, percobaan pemerasan atau pungutan liar sebagaimana penjelasan ketentuan Pasal 15 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. ketentuan Pasal 12 huruf e UU Nomor 20 Tahun 2001 diancam pidana yang sama tanpa pengurangan 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidana.
Ketiga atau yang terakhir, oleh karena isu hukum yang timbul adalah dugaan percobaan tindak pidana korupsi dalam arti pemerasan atau pungutan liar sebagaimana Pasal 43A UU Nomor 7 Tahun 2021 dan ketentuan Pasal 15 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. ketentuan Pasal 12 huruf e UU Nomor 20 Tahun 2001 di atas bahwa bapak/ibu STH dapat melakukan pelaporan dan atau pengaduan kepada lembaga penegak hukum yang berwenang.
Demikian jawaban dari saya dan semoga bermanfaat.
Terima kasih.
Salam,
Chessa Ario Jani Purnomo, S.H., M.H.
Advokat/kuasa hukum pajak pada Ario, Basyirah & Partners Law Firm
Tentang detik's Advocate
detik's Advocate adalah rubrik di detikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembaca detikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh para pakar di bidangnya.
Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), hukum internasional, hukum waris, hukum pajak, perlindungan konsumen dan lain-lain.
Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.
Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di e-mail: redaksi@detik.com dan di-cc ke e mail: andi.saputra@detik.com
Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.
(asp/asp)