Ayah mendiang Mirna Salihin yang meninggal akibat kopi sianida, Edi Darmawan Salihin, dilaporkan ke Polda Metro Jaya terkait PHK sepihak hingga tak bayar pesangon karyawan. Edi mengklaim permasalahan yang ada telah selesai.
"Jadi kita karyawannya ini 4.870 tepatnya, sekarang yang masih mau minta-minta sama saya duit, karena lihat saya punya gedung banyak, padahal laku juga belum, mau minta tambahan. Emang itu orang-orang lama, cuman kita sudah ngasih gede-gede dia. Emang dasar boros aja make duitnya," kata Edi saat dihubungi, Selasa (7/11/2023).
Edi juga menjelaskan terkait klaim PHK sepihak yang dilaporkan oleh eks karyawannya itu. Edi menuding para pelapor lah yang terlebih dahulu lepas tanggung jawab. Untuk itu, lanjut dia, pihak perusahaan memutuskan untuk memberhentikan mereka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Yang bubarin itu jasa kurir saja itu mereka sendiri. Lima hari nggak masuk, ngambil uang harian tapi nggak dijalankan tugasnya, saya bubarin. Dia nantang, dia pikir saya nggak berani kali. Mereka yang bubarin sendiri. Lima hari nggak masuk, ngambil uang harian, dia bubarin itu PT. Dia pikir saya takut, dia nantangin saya bubarin sekalian," jelasnya.
Edi menambahkan, dia sebelumnya juga sudah dilaporkan ke Polda Metro Jaya terkait kasus serupa. Hanya, menurutnya, surat perintah penghentian penyidikan atau SP3 sudah dikeluarkan lantaran pesangon susah dibayarkan.
"Pelaporan pertama di Krimsus di bagian Sumdaling itu sudah selesai, kita sudah dapat surat SP3-nya, bahkan sudah sampai P21 berarti sudah nggak ada apa-apa lagi. Terus disnaker, jamsostek, jaminan hari tua JHT kita bayarin semua," ujarnya.
Ayah Mirna Dipolisikan
Laporan tersebut dibuat mantan karyawannya, Wartono (57), dan sudah teregister dengan nomor LP/B/5743/SPKT/POLDA METRO JAYA tertanggal 26 September 2023. Selain Edi Dermawan Salihin, tiga orang lain merupakan direktur dan komisaris perusahaan PT FICC, yakni Made Sandy Salihin (putri Dermawan), Ni Ketut Sianti, dan Febriana Salihin dilaporkan ke Polda Metro Jaya.
"(Dilaporkan atas) Pasal 185 juncto Pasal 156 Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 6 Tahun 2023. Terlapor para direksi atau pemegang saham PT Fajar Indah Cakra Cemerlang. Kira-kira seperti itu (ayah Mirna terlapor)," kata kuasa hukum korban, Manganju Simanulang, kepada wartawan di Polda Metro Jaya, Selasa (7/11/2023).
Kasus PHK sepihak tersebut terjadi pada awal 2018. Karyawan sempat menanyakan alasan PHK dilakukan itu kepada direksi dan dijawab 'untuk efisiensi'.
"Kalau alasan PHK-nya waktu itu singkatnya, efisiensi. Tapi kalau ditelusuri ke belakang waktu itu ada ketidakstabilan pembayaran gaji terhadap sehingga karyawan melakukan demonstrasi, waktu itu dan akhirnya terjadi pemutusan sepihak oleh karyawan," kata Manganju Simanulang.
Karyawan yang merasa dirugikan sebelumnya menggugat perusahaan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Putusan Pengadilan PHI Jakarta No 206/Pdt. Sus PHI/2018/PN JKT PST tanggal 18 Oktober 2018, memutuskan perusahaan diharuskan membayar uang pesangon sebesar Rp 3,5 miliar kepada 38 karyawan yang di-PHK. Namun hingga kini uang pesangon tersebut tak kunjung dibayarkan.
"Sudah ada putusan dari pengadilan yang berkekuatan hukum tetap bahwa perusahaan dihukum untuk membayar pesangon kepada 38 orang karyawan tersebut. Tapi hingga saat ini sudah 5 tahun perusahaan belum juga membayarkan apa yang jadi kewajibannya bagi para karyawan. Totalnya perusahaan dihukum untuk membayar Rp 3,5 miliar, kurang lebih untuk 38 orang karyawan," jelasnya.
Simak juga Video 'Ayah Mirna: Fakta Sudah Terkuak, Luar Biasa Allah':
Baca selengkapnya di halaman selanjutnya....
Gaji Tak Lancar
Sementara itu, korban bernama Wartono menjelaskan, dia sudah bekerja selama 21 tahun di perusahaan tersebut. Mulanya sistem penggajian karyawan berjalan normal.
"Saya bekerja sudah 21 tahun, kerja sebagai kurir bagian lapangan. Awalnya perusahaan lumayan lancar, penggajian lancar sampai beberapa tahun. teman-teman kantor juga kekeluargaan," kata Wartono saat ditemui di Polda Metro Jaya, Selasa (7/11/2023).
Wartono mengatakan, memasuki 2017 setelah kasus kopi sianida menimpa Mirna, sistem pengajian di perusahaan mulai terkendala. Saat itu gaji yang diberikan perusahaan kepada karyawan mulai tersendat.
"Saya juga sempat negor Pak Edi. 'Pak ini kalau cara penggajian begini, karyawan gak bisa makan, ada yang nyicil motor ada yang rumah juga'. Pak Edi sendiri sempat bilang 'Entar 3 bulan kemudian akan lancar kembali'," kata Wartono.
"Tiga bulan lewat tetap juga begitu sampai hampir setahun kurang lebih delapan bulan penggajian nggak normal. Sampai puncaknya PHK besar-besaran 2018, Februari 21 kantor sudah tutup nggak ada kegiatan," tambahnya.
Wartono sebetulnya tidak menuntut pesangon tersebut dibayarkan sepenuhnya. Namun dia berharap para terlapor tidak lepas dari tanggung jawab dan memberikan pesangon kepada para korban.
"Harapan sih ada, mudah-mudahan Pak Edi mendengar keluhan karyawan ini, selama ini kita nuntut. Bukalah hati nurani, ayo kita duduk atau kita negosiasi nggak harus Rp 3,5 M atau gimana, ada berapanya yang penting ada negosiasi ads pertemuan, yang saya sayangkan kan begitu," tutur Wartono.