Ayah mendiang Mirna Salihin yang tewas akibat kopi sianida, Edi Darmawan Salihin, dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Edi dipolisikan terkait dugaan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak sejumlah karyawan.
Selain Edi Dermawan Salihin, tiga orang lainnya yang merupakan direktur dan komisaris perusahaan PT FICC, yakni Made Sandy Salihin (putri Dermawan), Ni Ketut Sianti, dan Febriana Salihin, dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Laporan tersebut dibuat mantan karyawannya, Wartono (57), dan sudah teregister dengan nomor LP/B/5743/SPKT/POLDA METRO JAYA tertanggal 26 September 2023.
"(Dilaporkan atas) Pasal 185 juncto Pasal 156 Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 6 Tahun 2023. Terlapor para direksi atau pemegang saham PT Fajar Indah Cakra Cemerlang. Kira-kira seperti itu (ayah Mirna terlapor)," kata kuasa hukum korban, Manganju Simanulang, kepada wartawan di Polda Metro Jaya, Selasa (7/11/2023).
Kasus PHK sepihak tersebut terjadi pada awal 2018. Karyawan sempat menanyakan alasan PHK dilakukan itu kepada direksi dan dijawab 'untuk efisiensi'.
"Kalau alasan PHK-nya waktu itu singkatnya efisiensi. Tapi kalau ditelusuri ke belakang, waktu itu ada ketidakstabilan pembayaran gaji terhadap sehingga karyawan melakukan demonstrasi, waktu itu, dan akhirnya terjadi pemutusan sepihak oleh karyawan," kata Manganju Simanulang.
Karyawan yang merasa dirugikan sebelumnya menggugat perusahaan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Putusan Pengadilan PHI Jakarta No. 206/Pdt. Sus PHI/2018/PN JKT PST tanggal 18 Oktober 2018, memutuskan perusahaan diharuskan membayar uang pesangon sebesar Rp 3,5 miliar kepada 38 karyawan yang dikenai PHK. Namun, hingga kini, uang pesangon tersebut tak kunjung dibayarkan.
"Sudah ada putusan dari pengadilan yang berkekuatan hukum tetap bahwa perusahaan dihukum untuk membayar pesangon kepada 38 orang karyawan tersebut. Tapi hingga saat ini, sudah 5 tahun, perusahaan belum juga membayarkan apa yang jadi kewajibannya bagi para karyawan. Totalnya perusahaan dihukum untuk membayar Rp 3,5 miliar, kurang lebih untuk 38 orang karyawan," jelasnya.
Gaji Tak Lancar
Sementara itu, korban bernama Wartono menjelaskan sudah bekerja selama 21 tahun di perusahaan tersebut. Mulanya sistem penggajian karyawan berjalan normal.
"Saya bekerja sudah 21 tahun, kerja sebagai kurir bagian lapangan. Awalnya perusahaan lumayan lancar, penggajian lancar sampai beberapa tahun. teman-teman kantor juga kekeluargaan," kata Wartono saat ditemui di Polda Metro Jaya, Selasa (7/11/2023).
Wartono mengatakan, memasuki 2017, setelah kasus Kopi Sianida menimpa Mirna, sistem pengajian di perusahaan mulai terkendala. Saat itu gaji yang diberikan perusahaan kepada karyawan mulai tersendat.
"Saya juga sempat negor Pak Edi. 'Pak, ini kalau cara penggajian begini, karyawan nggak bisa makan, ada yang nyicil motor, ada yang rumah juga'. Pak Edi sendiri sempat bilang, 'Entar, 3 bulan kemudian akan lancar kembali'," kata Wartono.
"Tiga bulan lewat tetap juga begitu, sampai hampir setahun kurang lebih delapan bulan penggajian nggak normal. Sampai puncaknya PHK besar-besaran 2018, Februari 21 kantor sudah tutup, nggak ada kegiatan," tambahnya.
Wartono sebetulnya tidak menuntut pesangon tersebut dibayarkan sepenuhnya. Namun dia berharap para terlapor tidak lepas dari tanggung jawab dan memberikan pesangon kepada para korban.
"Harapan sih ada, mudah-mudahan Pak Edi mendengar keluhan karyawan ini, selama ini kita nuntut. bukalah hati nurani, ayo kita duduk atau kita negosiasi, nggak harus Rp 3,5 M atau gimana. Ada berapanya, yang penting ada negosiasi, ada pertemuan. Yang saya sayangkan kan begitu," tutur Wartono.
Lihat juga Video 'Ayah Mirna: Fakta Sudah Terkuak, Luar Biasa Allah':
Saksikan Live DetikPagi:
Lantas apa kata ayah Mirna Salihin? Baca di halaman selanjutnya....
(wnv/mea)