PHK merupakan salah satu sengketa yang muncul dalam hubungan ketenagakerjaan. Dalam UU terkait, sejumlah alternatif penyelesaian diberikan. Lalu bagaimana cara menuntutnya?
Berikut pertanyaan masyarakat:
Selamat pagi
Sebelumnya saya selaku anak dari seorang ayah yang haknya tidak bisa dipenuhi oleh perusahaannya ketika terjadinya Pemutusan Hak Kerja (PHK). Saya sebagai anak yang mewakili Ayah saya ingin mencoba untuk menyelesaikan masalah ini. Bagaimana cara yang harus saya tempuh untuk mendapatkan hak-hak yang seharusnya diterima oleh Ayah saya?.
Untuk informasi, ayah saya sudah 2 tahun lalu di PHK.
Terima kasih
BM
Pembaca lainnya bisa menanyakan pertanyaan serupa dan dikirim ke email: redaksi@detik.com dan di-cc ke andi.saputra@detik.com. Pembaca juga bisa melakukan konsultasi online ke BPHN di https://lsc.bphn.go.id/konsultasi.
Nah untuk menjawab pertanyaan di atas, kami meminta jawaban dari Penyuluh Hukum Ahli Madya Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kemenkumham, Azhari, S.H., M.H. Berikut penjelasannya:
Pemutusan hubungan kerja atau PHK adalah tindakan mengakhiri hubungan kerja karyawan yang dilakukan oleh perusahaan, baik untuk waktu sementara maupun permanen. Aturan dalam melakukan PHK harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang mengaturnya. Regulasinya dijelaskan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Di dalam UU tersebut dijelaskan bahwa tak boleh melakukan PHK secara sepihak, melainkan harus ada perundingan terlebih dahulu. Apabila hasil perundingan yang sudah dilakukan tak menghasilkan persetujuan, maka perusahaan hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja atau buruh setelah adanya penetapan dari lembaga penyelesaian hubungan industrial. Hal ini diatur dalam pasal 151 ayat 3 UU Ketenagakerjaan.
Berikut bunyi ketentuannya:
"Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial."
Kesimpulannya, harus ada penetapan yang dikeluarkan oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam melakukan PHK. Namun apabila perusahaan melakukan PHK tanpa adanya penetapan tersebut, maka PHK yang dilakukan batal demi hukum.
Kemudian, bagi perusahaan yang melakukan PHK tanpa mengikuti ketentuan hukum, maka wajib mempekerjakan Kembali pekerja tersebut. Hal ini tertulis dalam pasal 155 ayat 1 dan pasal 170 UU Ketenagakerjaan, yang berbunyi:
Pasal 155 ayat 1:
"Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum."
Pasal 170:
"Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan Pasal 151 ayat (3) dan Pasal 168, kecuali Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), Pasal 162, dan Pasal 169 batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh yang bersangkutan serta membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima."
Selanjutnya, aturan untuk penyelesaian perkara PHK secara sepihak dijelaskan dalam UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian erselisihan Hubungan Industrial. Aturan ini dipertegas dalam pasal 5 yang menyatakan bahwa:
"Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial."
Apabila sudah ada kesepakatan mengenai PHK oleh perusahaan ataupun tenaga kerja berdasarkan musyawarah mufakat, maka wajib didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri di mana para pihak mengadakan perjanjian bersama. Apabila Anda merupakan salah satu pekerja yang tak terima, maka Anda dapat melakukan perundingan untuk menyepakati uang pesangon atau permintaan dipekerjakan kembali. Korban PHK tanpa ada alasan masih punya kewajiban dan hak yang harus diperjuangkan. Selain itu, juga agar perusahaan tak semena-mena melakukan PHK.
Demikian yang dapat kami sampaikan semoga bermanfaat.
Azhari, S.H., M.H.
Penyuluh Hukum Ahli Madya Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kemenkumham
Tentang detik's Advocate
detik's Advocate adalah rubrik di detikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembaca detikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh para pakar di bidangnya.
Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), hukum internasional, hukum waris, hukum pajak, perlindungan konsumen dan lain-lain.
Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.
Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di email: redaksi@detik.com dan di-cc ke-email: andi.saputra@detik.com
Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.
Simak juga 'Kalau Video Pribadi Tersebarluaskan, Siapa Yang Terkena Hukum?':
(asp/asp)