Ahli utama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ardhian Dwiyoenanto dihadirkan sebagai saksi ahli di sidang perkara korupsi BTS Kominfo. Ardhian menjelaskan tax amnesty tidak bisa menghilangkan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Ardhian dihadirkan untuk terdakwa Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia Galumbang Menak Simanjuntak dan Komisaris PT Solitech Media Sinergy Irwan Hermawan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (10/10/2023). Ardhian dihadirkan jaksa untuk menjadi saksi ahli TPPU.
Mulanya pengacara Irwan dan Galumbang, Maqdir Ismail, bertanya apakah aset yang sudah didaftarkan tax amnesty bisa dikategorikan sebagai tindak pidana pencucian uang. Ardhian pun menjawab tegas soal itu.
"Bagaimana kaitannya dengan aset-aset yang sudah dilakukan tax amnesty? Apakah terhadap aset seperti ini masih bisa kita anggap sebagai bentuk TPPU?" tanya Maqdir.
Ardhian menerangkan tax amnesty tidak bisa menghilangkan TPPU. Menurutnya, bendahara umum negara lah yang nantinya akan mengizinkan membuka atau tidak aset yang sudah didaftarkan tax amnesty itu.
"Dapat kami sampaikan tax amnesty itu bukan berarti menghilangkan TPPU. Tax amnesty itu tidak menghilangkan TPPU. Bagaimana penegakan terhadap tax amnesty? Saya sering ditanya itu, itu bagaimana bendahara umum negara dapat mengizinkan aset itu dibuka atau tidak, jadi semua tergantung bendahara negara," ucap Ardhian.
Tak cukup sampai di situ, Maqdir kembali bertanya soal tax amnesty. Dia mempertanyakan apakah aset yang sudah didaftarkan sebagai tax amnesty itu bisa disita sementara itu terjadi jauh sebelum adanya dugaan tindak pidana.
"Kalau misalnya ilustrasi, aset-aset ini sudah lama, bahwa perolehnya jauh sebelum adanya dugaan tindak pidana itu, yang tadi saya katakan sudah masuk tax amnesty. Apakah masih harus dibuktikan sesuai ketentuan (Pasal) 77 ini oleh pihak yang asetnya disita terkait dengan satu perbuatan yang ada TPPU-nya?" tanya Maqdir.
Ardhian menjelaskan majelis hakim lah yang nanti menyatakan aset itu terbukti hasil tidak pidana pencucian uang atau tidak. Sementara terdakwa, kata Ardhian, yang harus membuktikan apakah aset itu diperoleh bukan dari hasil kejahatan TPPU.
"Ini pertanyaannya indah, jadi siapa sih pemilik (Pasal) 77 78, adalah majelis hakim, bisa aja majelis hakim tidak memerintahkan terdakwa untuk memerintahkan itu. Jadi beliau punya keyakinan atas hasil itu. Tapi kalau nanti terdakwa diminta untuk membuktikan tentu itu menjadi arena yang bagus (Pasal) 77, 78 itu arena yang bagus terdakwa untuk membuktikan asetnya itu positif," ujar Ardhian.
Irwan Didakwa TPPU
Diketahui, Irwan Hermawan didakwa melakukan korupsi dalam proyek pengadaan base transceiver station (BTS) 4G dan infrastruktur pendukung paket 1, 2, 3, 4, dan 5 Bakti Kementerian Komunikasi dan Informatika tahun 2020-2022. Irwan didakwa merugikan negara Rp 8 triliun.
Irwan diadili bersama Account Director of Integrated Account Department PT Huawei Tech Investment Mukti Ali dan Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia Galumbang Menak Simanjuntak. Mereka didakwa dalam berkas terpisah.
Dalam dakwaan yang dibacakan jaksa dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (4/7), Irwan beserta dengan Tenaga Ahli Human Development Universitas Indonesia Tahun 2020 Yohan Suryanto, Direktur Utama Bakti Kominfo Anang Achmad Latif dan Galumbang serta Mukti melakukan pertemuan-pertemuan dengan calon kontraktor dan subkontraktor dalam rangka menentukan pelaksana pekerjaan. Pertemuan itu mengatur persyaratan pemilihan penyedia.
Simak juga 'Makin Santer Saksi Sidang Kasus BTS Menyasar Menpora Dito':
(whn/fas)