Para pakar hukum tata negara merekomendasikan siapa pun capres dan cawapres harus mengagendakan perampingan kabinet 2024-2029. Selain itu juga capres/cawapres harus berani menghapus Menteri Koordinator (Menko). Apa alasannya?
Sikap itu disampaikan para pakar yang tergabung dalam Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN).
"Keberadaan Kementerian Koordinator perlu dipertimbangkan untuk dihapus," kata Sekjen APHTN-HAN, Prof Bayu Dwi Anggono, dalam keterangannya, Senin (2/10/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rekomendasi itu adalah salah satu hasil rekomendasi Konferensi Nasional (KN) APHTN-HAN yang digelar di Batam akhir pekan lalu. Dalam argumennya, para pakar hukum itu menilai secara regulasi, pembentukan Kementerian Koordinator tidak diwajibkan.
"Dan untuk mengefektikan kebijakan dan koordinasi langsung antara menteri dan Presiden," ungkap Bayu Dwi Anggono yang juga Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember (FH Unej) itu.
Para pakar hukum tata negara itu menilai, pencapaian tujuan negara dilakukan melalui pelaksanaan fungsi negara melalui berbagai urusan pemerintahan. Pembentukan kabinet sebagai kekuasaan Presiden mempunyai dampak pada pelaksanaan urusan pemerintahan. Oleh karena itu pembentukan kabinet perlu memperhatikan berbagai aspek; yakni aspek politik, professional/ teknokratik dan representasi berbagai kekuatan/ kepentingan, termasuk daerah (teritori).
"Komposisi pembentukan kabinet Indonesia, perlu mempertimbangkan keseimbangan atau proporsi politik dan teknis. Proporsi politik diberikan kepada partai politik untuk urusan yang bersifat kebijakan makro. Proporsi teknis diberikan untuk professional atau berbasis merit untuk urusan yang membutuhkan hal-hal yang bersifat netral dan berdasarkan pada keahlian tertentu. Untuk itu perlu untuk melakukan pemetaan urusan-urusan yang bersifat politis dan bersifat teknis," beber Bayu Dwi Anggono.
Menurut APHTN-HAN, UU Kementerian Negara perlu ditinjau kembali untuk disesuaikan dengan kebutuhan penyusunan kabinet terhadap situasi saat ini dan mendatang, sehingga jumlah kementerian dapat ditentukan oleh Presiden berdasarkan program kerja Presiden dalam sistem Presidensial.
"Penentuan jumlah kementerian oleh Presiden juga ditujukan untuk adaptif dengan kebutuhan masyarakat dan negara," cetus Bayu Dwi Anggono.
Asosiasi yang memiliki lebih dari seribu ahli hukum tata negara/hukum administrasi negara itu juga menilai perlu dibuat UU Kepresidenan.
"Tujuan UU ini adalah untuk memberikan keleluasaan Presiden dalam penggunaan hak-hak prerogatif, termasuk dalam hal penyusunan kabinet yang efektif guna menyokong sistem pemerintahan Presindensial," pungkas Bayu Dwi Anggono.
Untuk diketahui, Konferensi Nasional APHTN-HAN digelar secara maraton di Batam. Acara dibuka oleh Ketua MK Prof (HC) Anwar Usman dan ditutup oleh Wakil Ketua MK Prof Saldi Isra. Hadir Ketum APHNTN-HAN Prof Guntur Hamzah yang juga hakim konstitusi dan Anggota Dewan Pembina APHTN-HAN, Prof Enny Nurbaningsih yang juga hakim konstitusi. Adapun hakim konstitusi Prof Arief Hidayat didapuk memberikan Keynote Speech usai pembukaan Konferensi Nasional. Adapun Menkumham Prof Yasonna Laolly diwakili oleh Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Prof Widodo Ekatjahjana.
Simak juga Video: Ekspresi Jokowi Ditanya Isu Bakal Kembali Reshuffle Kabinet