Mahkamah Agung (MA) menyunat hukuman pidana uang pengganti Surya Darmadi, dari Rp 42 triliun menjadi Rp 2 triliun. Pakar hukum pidana Chairul Huda menyebutkan putusan MA soal putusan Surya Darmadi sudah tepat.
"Menurut pendapat saya sebagai ahli hukum pidana, putusan Mahkamah Agung dalam perkara tindak pidana korupsi atas nama terdakwa Surya Darmadi yang menghapuskan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti, yaitu pembayaran kerugian perekonomian negara lebih dari 40 triliun, memang telah sesuai dengan hukum yang berlaku," kata Chairul Huda kepada wartawan, Minggu (1/10/2023).
Pandangan Chairul Huda mendasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yaitu Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor telah berubah menjadi delik materiil.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena penggunaan kata 'dapat' bertentangan dengan konstitusi dengan alasan menimbulkan ketidakpastian hukum," ucap Chairul Huda.
Oleh karena itu, kata Chairul Huda, kerugian perekonomian negara dalam tindak pidana korupsi harus merupakan kerugian yang nyata dan pasti jumlahnya.
"Sehingga menurut Mahkamah Agung tidak ada ukuran yang pasti untuk menentukan hal ini," tegas Chairul Huda.
Menurut Chairul Huda, kerugian perekonomian negara dalam kasus Surya Darmadi, yang dibuktikan dengan pendapat ahli, bukan merupakan perhitungan yang mengikat bagi hakim. Menurutnya, tidak dapat dipastikan terkait kerugian perekonomian tersebut sehingga ditolak oleh MA.
"Selain itu, sebenarnya kerugian keuangan negara yg dinyatakan terbukti dalam perkara ini sejumlah Rp 2 triliun lebih sehingga dibebankan kepada terdakwa sebagai pidana tambahan pembayaran uang pengganti juga didasarkan pada pembuktian yang tidak valid. Karena hanya berdasarkan perhitungan BPKP tanpa di-declare oleh BPK," ujar Chairul Huda.
Padahal, menurut Chairul Huda, MA sendiri yang menentukan dalam peraturannya bahwa kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi harus berdasarkan declare BPK sesuai dengan konstitusi negara.
"Oleh karena itu, seharusnya Surya Darmadi dibebaskan. Apalagi sifat keterlanjuran perbuatannya telah dijadikan pelanggaran administrasi belaka oleh UU/Perppu Cipta Kerja," pungkas Chairul Huda.
Sebagaimana diketahui, Surya Darmadi melakukan kongkalikong dengan Bupati agar mendapatkan izin membuka lahan sawit. Padahal lahan sawit itu di atas hutan. Bisnis itu dilakukan bertahun-tahun.
Atas hal itu, Kejaksaan Agung membidik Surya Darmadi dan mendudukkan dia di kursi terdakwa.
Pada 23 Februari 2023, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara terhadap Surya Darmadi dengan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan. PN Jakpus juga menjatuhkan hukuman uang pengganti Rp 2,238 triliun dan membayar kerugian ekonomi negara Rp 39,7 triliun. Bila tidak, asetnya dirampas negara dan bila tidak cukup, diganti 5 tahun penjara.
Atas putusan itu, Surya Darmadi mengajukan permohonan banding dan dikuatkan Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta.
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.
Lihat juga Video: Pengacara Ungkap Pemicu Emosi Surya Darmadi Jelang Sidang
Vonis Kasasi
Mendapati dua putusan itu, Surya Darmadi mengajukan upaya kasasi dan dikabulkan. MA menyunat hukuman uang pengganti yang harus ditanggung Surya Darmadi.
"Tolak perbaikan. Uang Pengganti Rp 2.238.274.248.234,00 subsider 5 tahun penjara," demikian bunyi putusan yang dilansir website MA, Rabu (20/9/2023).
Duduk sebagai ketua majelis Dwiarso Budi Santiarto dengan anggota Sinintha Yuliansih Sibarani dan Yohanes Priyana. Adapun panitera pengganti Widyatinsri Kuncoro Yakti. Namun untuk hukuman pidana pokok, majelis menambah 1 tahun penjara.
"Pidana penjara 16 tahun, denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan," ucapnya.
Dalam putusan itu, hakim agung Sinintha Sibarani menolak menyunat hukuman Surya Darmadi. Namun suaranya kalah oleh 2 hakim agung lainnya.
Respons Kejagung
Kejaksaan Agung (Kejagung) akan mempelajari putusan Mahkamah Agung (MA) terkait hukuman terhadap Surya Darmadi (71). Kejagung bakal mencari tahu dasar dari putusan MA yang mewajibkan Surya Darmadi membayar Rp 2 triliun kepada negara dari sebelumnya Rp 42 triliun.
"Kalau itu nanti kami pelajari dulu, kita nggak bisa berikan jawaban langsung ini mau diapakan untuk perkara ini. Karena kita butuh mempelajari apa dasar pertimbangan majelis memberikan hukuman itu, karena hukuman yang diberikan juga lebih tinggi dari putusan sebelumnya kan? dari 15 tahun jadi 16 tahun, kita pelajari dulu," kata Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana di Kejagung, Jakarta, Selasa (19/9).