Iptu Handrianus Wungbelolong baru saja 4 hari di Camp Garuda Bangui, Afrika Tengah. Handy, sapaan Handrianus, adalah salah satu dari 158 personel Formed Police Unit (FPU) IV Indonesia yang dikirim untuk menjalankan misi perdamaian MINUSCA United Nations (UN) di Afrika Tengah.
Pada 19 September 2022, Handy saat itu baru tiba di camp setelah menjalankan patroli di area of responsibility (AOR), ketika dia menerima kabar buruk. Sang ibunda meninggal dunia.
![]() |
Kabar buruk itu menyambarnya seperti petir di siang bolong. Handy menangis tak kuasa mendengar kabar itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya juga bingung karena baru sampai juga 4 hari di sini dan kita belum ada pembekalan dari UN. Di kamar tuh saya nangis-nangis terus," kata Handy saat berbincang dengan detikcom di Camp Garuda Indonesia, Bangui, Afrika Tengah, Jumat (8/9/2023).
Saat menerima kabar itu, Handy begitu bimbang. Hati kecilnya ia ingin terbang saat itu juga untuk menemui jenazah ibundanya untuk terakhir kalinya sebelum dimakamkan.
Akan tetapi hal ini tidak mudah, mengingat kondisinya di Afrika Tengah, jauh dari mana-mana. Di sisi lain, ada prosedur yang harus dilewati jika seorang personel akan keluar dari markas.
"Akhirnya saya lapor ke atasan saya Kompol Andreas dan beliau membantu saya mengurus dokumen dari PBB," katanya.
Sebagai informasi, pasukan perdamaian yang berada di tengah misi bisa meninggalkan misi dalam kondisi emergency. Salah satunya ketika anggota keluarga meninggal dunia.
"Personel bisa mendapatkan cuti emergency selama 10 hari jika ada kondisi yang urgent sekali, salah satunya kalau keluarga kita meninggal dunia itu bisa cuti dulu 10 hari, habis itu kembali lagi bertugas," kata Kepala Administrasi Personel FPU 4 Indonesia, Kompol Andreanus.
Hadiri Pemakaman Ibunda
Setelah mendapatkan dukungan dari atasan, Handy pun akhirnya memutuskan untuk melayat jenazah ibundanya. Tepat pada 26 September 2022, Handy akhirnya terbang ke Jakarta.
Dari Jakarta, Handy melanjutkan perjalanan ke Kupang. Pada 28 September 2022, Handy terbang ke kampung halamannya di Adonara, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT).
"Kebetulan jenazah ibu belum dikuburkan saat itu, masih disemayamkan. Ibarat kan nunggu saya," kata Handy.
Hari kedelapan cuti emergency, Handy kemudian kembali ke Jakarta untuk kembali melaksanakan misi perdamaian di Afrika Tengah.
"Tapi saya bersyukurnya bisa melihat ibu untuk yang terakhir kalinya, maksudnya lega lah daripada saya di sini saya nggak pulang akhirnya penasaran. Saya lega dan sudah ikhlas juga," tuturnya.
Ortu Tak Datang ke Pelepasan
Kondisi ibunda Handy memang sudah menurun sejak dia masih mengikuti latihan praops di Indonesia. Ibunda Handy menderita.
"Katanya mau dikemoterapi, tapi kondisinya masih lemah. Jadi saya waktu Praops selama 6 bulan itu, ibu posisi lagi sakit di Kupang, NTT," ujar anak pertama dari dua bersaudara itu.
"Saya sempat bilang 'ya udah, Bu, saya nggak usah ikut misi aja, saya pulang rawat ibu aja. Tapi ibu tetap keukeuh 'jangan kamu udah setengah jalan, kamu berangkat saja, ibu sehat-sehat saja" Handy menirukan ibunda.
Setelah melewati praops, tibalah pasukan FPU 4 Indonesia untuk dilepas ke Afrika Tengah. Keluarga Handy saat itu tidak hadir.
Sedih memang. Tapi Handy berupaya tegar dan memahami kondisi kesehatan ibunya yang sudah menurun.
"Akhirnya waktu pelepasan itu kan rencananya, pelepasan itu kan dari Kapolri di lapangan Bhayangkara, rencananya ibu mau datang. Orang-orang pada punya keluarga, saya bingung, sedih nggak ada orang yang datang, tetapi mau gimana lagi karena orang tua sakit," katanya.
![]() |