Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo (Bamsoet), mengeluarkan wacana untuk amendemen Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Asosiasi Mahasiswa Hukum Tata Negara Se-Indonesia (AMHTN-SI) menyebut wacana tersebut masih bersifat parsial.
"Alasan di atas (oleh Bamsoet) menunjukkan kejengahan MPR. Kita tahu, sejak amandemen ketiga, MPR kehilangan kewenangan yang berarti. Kewenangannya hanya melingkupi kewenangan mengubah UUD, melantik presiden terpilih atau kegiatan seremonial sidang tahunan untuk mendengar laporan-laporan," kata Koordinator Pengurus Kajian dan Analisis Kebijakan Publik AMHTN-SI, A Fahrur Rozi, dalam keterangan tertulis, Kamis (17/08).
Menurut Rozi, Bamsoet mengusulkan beberapa hal perubahan, pertama soal mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi. Sehingga, MPR bisa merespons kondisi kahar fiskal dan kahar politik ke depan, termasuk kebijakan Pemilu apabila tidak dapat dilaksanakan tepat waktu karena adanya peperangan atau pandemi.
Kedua, mengusulkan kembalinya Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai peta jalan panjang perencanaan pembangunan bangsa.
"Menurut Bamsoet, Indonesia membutuhkan perencanaan jangka panjang yang holistik, konsisten, dan berkesinambungan," katanya.
Menurut Rozi, usulan PPHN atau GBHN menjadi solusi yang tidak tepat dalam melakukan integrasi dan linearisasi program pembangunan jangka panjang. Baginya, persoalan mendasarnya bukan terletak pada dokumen pedoman pembangunan kenegaraan, melainkan pada aktor yang merealisasikan rancangan tersebut di lapangan.
"Kalo kita lihat, sebenarnya kita punya undang-undang yang juga mengatur mengenai sistem perencanaan pembangunan nasional, tapi banyak sekali derivasi aturan yang menghasilkan hal tersebut. Ini membuktikan bahwa tidak ada harmonisasi antara pusat dan daerah sehingga pembangunan nasional menjadi tidak selaras," paparnya.
Rozi terdapat hal krusial yang seharusnya menjadi perhatian MPR untuk diusulkan dalam amemdemen UUD. Terutama terkait kondisi yang tidak jelas dalam konstruksi sistem pemerintahan presidensil, limitasi penafsiran kegentingan memaksa, sistem keterwakilan.
"Terutama mengenai dominasi MPR itu sendiri dalam melakukan amandemen UUD sebagaimana tertuang dalam Pasal 37 UUD. Kita ingin adanya partisipasi bermakna dari masyarakat, termasuk dalam perumusan poin amandemen UUD," katanya.
"Kita ingin hal yang sama dalam mempersepsikan adanya meaningful participation dalam pembuatan UU itu, juga bisa terjadi dalam rancangan amandemen ke depan," harap Rozi.
(aik/dnu)