Lebih Dekat dengan Hidayat Nurwahid (2)
Antara Pluralisme & Syariat Islam
Selasa, 03 Okt 2006 11:30 WIB

Medan - Ketua MPR Hidayat Nurwahid menjadi salah satu politisi yang patut diperhitungkan dalam peta politik di Indonesia. Dalam Pemilu 2004 lalu, Hidayat memperoleh suara paling tinggi di antara para calon legislatif DPR. Bagaimana pandangan Hidayat mengenai Islam dalam konteks ke-Indonesiaan, pluralisme dan syariat Islam?Hidayat Nurwahid saat diwawancarai wartawan detikcom bersama beberapa wartawan lainnya, sekembalinya dari kegiatan safari Ramadan di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) mengutarakan pandangan-pandangannya terhadap hal-hal itu. Berikut wawancaranya: Islam dalam konteks Indonesia menurut Ustad seperti apa? Apa perlu ada penyatuan visi yang dijadikan sebagai platform bersama parpol Islam?Saya kira tidak mungkin. Biarkan semuanya berjalan selama dia ada dalam koridor demokrasi. Sebelum berdiri parpol Islam, umat Islam sudah beragam. Kalau kita membayangkan akan adanya satu partai Islam, mungkinkah itu? Mustahil.Umat, partai, dan ormas sudah beragam. Partai berangkat dari ormas, ormasnya saja sudah beragam bagaimana kita membayangkan partainya hanya satu? Belum lagi nanti LSM, organ kampus. Ini istilahnya keragaman yang variatif, bukan keragaman yang kontradiktif.Saya juga tidak ingin terjebak dalam kategorisasi yang lokal, yang sesungguhnya adalah produk dari kalangan orientalis yang membagi Islam Indonesia, Islam Amerika, Islam Timur Tengah. Ini akan menghadirkan cara pandang Islam yang dilokalisir dan mempermudah untuk diadu domba antara daerah satu dan lainnya.Kalau dilokalisir nanti tidak lagi Islam yang kaffah, bukan Islam yang rahmatan lilalamin, tapi rahamatan lil Indonesia aja. Islam dan Indonesia bukanlah dua hal yang saling bertentangan, tapi bisa saling mengisi.Pandangan Ustad tentang keberagaman atau pluralisme?Saya kira yang mengemuka adalah dialog antar agama yang diselenggarakan Pak Din Syamsuddin. Saya juga pernah dialog dengan Romo Magnis (Frans Magniz Suseno), bahwa yang namanya pluralisme itu beda dengan pluralitas.Kita menghormati, tapi kalau masing-masing mengatakan agama saya tidak yang paling benar, itu pasti mengkhianati ajaran dasar setiap ajaran agama. Tidak mungkin saya meyakini agama saya, kemudian mengatakan agama anda lebih benar dari agama saya. Bukan ideologi namanya. Kalau sama benarnya kenapa saya tidak anut agama yang lain saja. Itu tidak mungkin. Jadi yang mungkin adalah ajaran agama saya yang benar dan mengajarkan saya untuk kerja sama dalam ta'awanu alal birri wat taqwa. Agama saya yang benar adalah yang mengajarkan berbuat baik. Untuk menghadirkan kesalehan sosial, solusi, harmoni dalam kehidupan. Dalam konteks Islam, dialog selalu terbuka. Tapi harus billati hiya ahsan.Pluralisme adalah menerima keyakinan bahwa kebenaran itu plural dan sama benarnya. Dan karenanya dalam pluralisme tidak ada yang boleh mengklaim agama saya yang paling benar. Saya tidak sepakat dengan ini.Tapi pluralitas menerima adanya keragaman itu, dengan tidak menafikan ada yang lebih benar daripada yang lain. Dan kebenaran yang kita yakini tidak harus membuat kita berlagak arogan, menegasikan orang lain, menutup diritidak berkomunikasi. Tetapi ini tentu dengan semangat moralitas.Saya ingin memberi contoh. Tidak mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani tidak berarti umat Islam tidak toleran atau tidak pluralis. Yang namanya toleransi adalah orang Islam punya pendapat tidak mengucapkan selamat Natal. Dan umat kristiani tidak boleh memaksa dan mengkondisikan kalau umat Islam tidak mengucapkan itu akan merasa tidak enakan.Apakah Ustad sepakat dengan formalisasi syariat Islam?Setiap parpol punya banyak tujuan dan platform yang berbeda soal syariat Islam. Saya cenderung menggunakan istilah masyarakat madani, dan itu tidak bertentangan dengan syariat. Istilah ini berangkat dari kondisi bernegara Rasulullah saat hijrah ke Madinah. Masyarakat Madinah adalah masyarakat yang menjunjung tinggi pluralitas. Ada kaum pendatang, ada penduduk asli. Ada orang Islam, Nasrani dan Yahudi.Artinya universalitas nilai Islam lebih penting dari sekedar simbol syariat Islam?Aspek yang objektif, konkret, aktual, lebih ditunggu perannya dibanding yang simbolis. Tapi saya tidak sepakat ada dikotomi antara simbol dan substansi. Misalkan soal jilbab, saya tidak terima lebih baik menjilbabi hati dibanding menjilbabi kepala. Bagaimana mungkin kita mau menjilbabi hati kalau kita tidak bisa menjilbabi kepala yang lebih terlihat, sementara hati tidak terlihat.Dalam filsafat ada istilah, orang yang memisahkan yang eksistensi dengan yang substansi adalah orang yang tidak rasional.Lantas bagaimana penerapan syariat yang ideal?Pertama rujukannya adalah al-Quran. Kedua, sesuai dengan kondisi yang ada di Indonesia. Ini tergantung kekuasaan politik. Bagi saya syariat Islam yang terpenting adalah iqra' bismi rabbika alldzi khalaq. Bacalah, dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Artinya dengan pendidikan, peningkatan kualitas SDM, anggaran APBN dan APBD 20 persen untuk pendidikan, serta menghadirkan masyarakat yang punya komitmen terhadap moralitas, dan penegakan hukum.
(fjr/asy)