Pakar hukum tata negara Universitas Brawijaya, Aan Eko Widiarto, memandang evaluasi anggota TNI di jabatan sipil perlu dilakukan. Menurut Aan, yang perlu dievaluasi adalah penerapan aturan dalam Pasal 47 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
"Dievaluasi iya, ditegakkan hukumnya. Karena sudah jelas dalam Undang-undang TNI itu tentara aktif hanya bisa menduduki jabatan-jabatan sipil kalau sudah dinonaktifkan. Ketika terjadi pelanggaran, kalau melanggar hukum sipil diadili di peradilan sipil, peradilan umum. Kalau melanggar aturan militer diadili di pengadilan militer. Tapi sampai sekarang juga tidak dilaksanakan itu," ujar Aan kepada wartawan, Selasa (1/8/2023).
Berikut bunyi ayat 1:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
(1) Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
"Di undang-undang, kalau ada anggota menjabat di jabatan sipil selain yang ditentukan UU TNI maka harus mengundurkan diri atau pensiun dari TNI, statusnya berhenti sebagai militer, sebagai tentara. Melepas atribut kemiliterannya sepanjang menjabat di jabatan sipil," ucap Aan.
"Undang-undang terkait kemiliteran tidak berlaku di dia saat dia di jabatan sipil, karena dia tidak sedang menjalani fungsi tentara, dia sedang tidak menjalankan tugas fungsi pertahanan," sambung Aan.
Aan menegaskan perbuatan korupsi masuk pelanggaran hukum sipil. Namun karena tak berjalannya ketentuan dalam Pasal 47 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang terjadi adalah kebingungan.
"Pelanggaran korupsi itu merupakan pelanggaran hukum sipil, umum. Akhirnya bingung ini masuk ke tentara atau sipil, akhirnya tarik-tarikan karena statusnya masih tentara aktif. Kalau statusnya nonaktif, maka akan clear," tutur Aan.
"Misalnya PNS lalu menjabat sebagai hakim. PNS itu kan eksekutif, hakim yudisial. Saat menjadi hakim, PNS itu harus nonaktif dari PNS-nya. Dia bukan tunduk terhadap disiplin pegawai PNS, tapi tunduk pada hukumnya kehakiman," lanjut Aan.
Dia lalu menyinggung soal napas reformasi. Aan juga menyinggung soal dwifungsi tentara.
"Evaluasinya itu kalau tentara mau dikasih jabatan sipil, ya harus nonaktif dulu dari TNI, sesuai undang-undang. Kalau tidak sama saja dengan dwifungsi sebelum reformasi, lalu apa gunanya ada reformasi, Undang-Undang TNI," sebut dia.
"Undang-Undang TNI memang lahir dari reformasi, 2004. Yang mana waktu reformasi itu kan dwifungsi harus dihapuskan. Maka akhirnya muncul pasal yang menyebut kalau TNI di jabatan sipil, maka harus melepas status aktif di TNI, dan kalau TNI melanggar hukum sipil maka diadili di sipil," tambah Aan.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.
Simak Video: Jejak Kasus Dugaan Suap Kabasarnas hingga Kini Masuk Tahanan Militer
Aan menuturkan kendala dalam penerapan Undang-Undang TNI bagi prajurit yang melanggar aturan sipil adalah udang-undang peradilan militer yang masih belum diperbarui.
"Cuma sampai sekarang yang akhirnya membuat nggak tuntas reformasi itu, undang-undang peradilan militernya yang lebih tua dari Undang-Undang TNI, itu yang tidak mau diubah. Akhirnya Undang-Undang TNI yang lahir di era reformasi ini jadi macan ompong, karena eksekusinya itu di undang-undang peradilan militer," kata Aan.
"Undang-undang peradilan militer itu pokoknya TNI melanggar apa pun, hukum sipil atau merugikan sipil, ya diadili TNI sendiri. Padahal sudah ada Undang-Undang TNI yang dibuat sesuai napas reformasi," ujar Aan.
Terakhir, Aan menyebut seharusnya diberlakukan asas lex posterior derogat legi priori. Jadi Undang-Undang Peradilan Militer dapat dikesampingkan dengan adanya Undang-Undang TNI.
"Undang-Undang Peradilan Militer itu kan dibuat sebelum reformasi. Secara hukum harusnya berlaku lex posterior derogat legi priori atau peraturan yang lebih baru mengesampingkan peraturan yang lama," pungkas Aan.