Komnas Perempuan menyatakan keprihatinan atas diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) tentang larangan hakim mengizinkan pernikahan beda agama. Oleh sebab itu, Komnas Perempuan meminta MA mencabut SE itu.
SE yang dimaksud yaitu SE Nomor 2 Tahun 2023 Tentang Petunjuk Bagi Hakim Dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat Yang Berbeda Agama dan Kepercayaan.
"Komnas Perempuan meminta kepada Mahkamah Agung untuk segera mencabut SEMA No 2 Tahun 2023, karena merupakan kebijakan diskriminatif, mengingat Indonesia sebagai negara kesatuan memiliki keragaman suku bangsa, budaya, tradisi, termasuk agama, yang dilambangkan melalui Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika," demikian keterangan pers Komnas Perempuan yang dikutip dari website Komnas Perempuan, Senin (31/7/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam keragaman tersebut, kata Komnas Perempuan, pembaruan dan interaksi antara warga satu sama lain dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara terjalin. Termasuk hubungan yang berakhir dengan suatu perkawinan terjadi secara faktual.
"Mahkamah Agung sebagai salah satu lembaga konstitusional yang dibentuk berdasarkan UUD, merupakan lembaga negara yang mempunyai kewajiban untuk memajukan perlindungan, pemajuan, penegakan, pemenuhan hak asasi manusia," tulisnya.
Tugas MA itu tertuang dalam Pasal 28I ayat (4) UUD NRI 1945, serta dasar pertimbangan pembentukan UU Mahkamah Agung. Yaitu bertujuan menjamin persamaan kedudukan warga negara dalam hukum diperlukan upaya untuk menegakkan ketertiban, keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum semestinya mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat (konsideran huruf b).
Komnas Perempuan mencatat bahwa pengakuan perkawinan warga negara yang berbeda agama telah mendapatkan pengakuan melalui pasal 35 UU No 23 tahun 2006 jo UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, dengan penjelasan pasal yang menyatakan yang dimaksud dengan 'Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan' adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama.
"SEMA ini merupakan bentuk pengingkaran dan pengabaian lembaga negara pada pelaksanaan kewajiban konstitusional dan hak hukum warga negara, serta bentuk diskriminasi lembaga negara dalam bidang perkawinan," ucap Komisioner Komnas Perempuan, Dewi Kanti.
Dewi Kanti menjelaskan, perempuan mengalami stigma lebih dibandingkan laki-laki ketika memilih melakukan pernikahan beda agama. Pengaduan ke Komnas Perempuan menunjukkan perempuan yang menikah beda agama dianggap melakukan zina, perempuan sebagai anak diusir dari rumahnya, dan rentan mengalami kekerasan dari keluarga, seperti memisahkan paksa perempuan dari pasangannya/suami dan anak-anaknya, kekerasan psikis dan ekonomi. Hal serupa dialami oleh perempuan penghayat yang melakukan perkawinan beda agama.
"Perkawinan beda agama yang tidak dicatatkan dapat menimbulkan berbagai dampak sosial terhadap anak-anak yang dilahirkan, termasuk kerentanan perempuan menjadi korban KDRT ketika perkawinannya tidak tercatat," ujar Dewi Kanti.
Berikut isi SEMA itu:
Untuk memberikan kepastian dan kesatuan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antar umar beragama yang berbera agama dan kepercayaan, para hakim harus berpedoman pada ketentuan sebagai berikut:
1. Perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu, sesuai Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 8 huruf f UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
2. Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar umar beragama yang berbeda agama dan kepercayaan.
Simak juga Video: Permintaan Ma'ruf soal Aturan Anak dari Pernikahan Beda Agama