Surat edaran Mahkamah Agung (MA) melarang hakim untuk mengizinkan pencatatan pernikahan beda agama. Surat edaran MA itu sedang dikaji oleh Kementerian Agama (Kemenag). Ngomong-ngomong, apakah semua agama melarang pernikahan beda agama?
Sebenarnya, persoalan upaya hukum mengenai pernikahan beda agama ini sudah berlangsung lama. Sikap-sikap perwakilan pelbagai kelompok agama juga sudah dikemukakan di ruang-ruang sidang gugatan pada masa sebelumnya.
Pada 18 Juni 2015, Mahkamah Konstitusi (MK) pernah menolak gugatan terhadap UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diajukan Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Anbar Jayadi, dan Luthfi Sahputra.
Dalam UU tersebut, ada Pasal 2 ayat 1 yang menyatakan bahwa "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu". Karena MK Menolak gugatan terhadap pasal itu, maka pasal itu tetap berlaku sampai sekarang. Artinya, dua sejoli yang menikah harus seagama, tidak bisa beda agama.
Perkembangan terbaru, Kamis (27/7) kemari, MA menerbitkan Surat Edaran kepada hakim-hakim seantero negara ini. MA melarang semua hakim mengizinkan pencatatan pernikahan beda agama. Surat edaran itu terbit setelah sejumlah pengadilan negeri (PN) di pelbagai daerah mengizinkan pernikahan beda agama.
Menyoal surat edaran MA, sebenarnya apakah semua agama melarang nikah beda agama? Berikut adalah keterangan dari perwakilan kelompok-kelompok agama yang ada di Indonesia, yang pernah dihadirkan di persidangan MK.
1. Islam: Melarang
Dalam menguji gugatan pernikahan beda agama yang diajukan Damian Agata Yuvens, dkk, MK pernah menghadirkan pandangan kelompok lintas agama pada 5 November 2014 silam. Dari kelompok Islam, ada perwakilan Majelis Ulama Indonesia (MUI) saat itu yakni Zainal Arifin Hesen dan M Luthfie Hakim, serta dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ahmad Ishomuddin.
"MUI menilai bahwa Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan produk hukum yang telah sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat," kata MUI sebagaimana dilansir dari risalah sidang dari situs web MK.
Dari PBNU, Ishomuddin menjelaskan ulama telah sepakat bahwa pernikahan antara orang Islam dengan orang musyrik adalah haram. Ini berdasarkan Alquran Surat Al-Mumtahanah ayat 10. Seorang musllimah (perempuan) tidak boleh dinikahkan dengan nonmuslim dari golongan musyrik atau ahli kitab (Yahudi, Nasrani). Dasarnya adalah Surat Al Mumtahanah ayat 1. Haram pula bagi seorang muslim (laki-laki) menikahi perempuan Yahudi dan Nasrani yang keluar dari agamanya kemudian menjadi penyembah berhala atau ateis.
Untuk hukum seorang muslim menikahi perempuan Yahudi atau Nasrani, ada tiga pendapat: boleh, makruh, dan haram. Landasan argumennya adalah pendapat ulama terdahulu, catatan sikap sahabat nabi, serta Surat Al-Baqarah ayat 221 dalam Al-Qur'an.
Maka, PBNU menyatakan perempuan muslimah hanya boleh dinikahkan dengan muslim. Seorang muslim hanya boleh menikah dengan muslimah. Pria muslim haram menikahi penganut selain Yahudi dan Nasrani. Pernikahan mulim dengan perempuan Yahudi atau Nasrani hukumnya adalah haram.
"Demikian pula seorang pria muslim hanya boleh menikah dengan wanita beragama Islam dan hukumnya haram pria muslim menikahi wanita Yahudi atau wanita Nasrani dengan beberapa alasan yang pertama, kecil kemungkinan untuk menarik wanita kitabiah masuk ke dalam Islam dan masih banyak cara lain untuk berdakwah mengajak orang lain masuk ke dalam agama Islam," kata Ishomuddin dalam risalah sidang tersebut. Maka, PBNU sepakat dengan Pasal 2 ayat (1) UU tentang Perkawinan.
Belakangan setelah MA menerbitkan Surat Edaran, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, Sukadiono, menyebut Surat Edaran MA sudah tepat. Menurutnya, surat Edaran MA yang kontra terhadap pernikahan beda agama itu sudah sesuai ajaran Islam. "Itu mempertegas menikah ya harus satu agama," kata Sukadiono dilansir detikJatim, Kamis (20/7) pekan lalu.
Lihat juga Video 'Tok! MK Tolak Gugatan Pernikahan Beda Agama':
Selanjutnya, Kristen Katolik dan Protestan:
(dnu/asp)