Bila selama ini banyak orang mungkin hanya menduga-duga bagaimana para pelaku teror mendapatkan bantuan dana untuk menjalankan aksinya. Ketua Program Studi Islam Madani Universitas Paramadina Dr M Subhi Ibrahim menyatakan adanya pihak yang mendanai secara langsung atau tidak langsung berbagai aksi teror di Tanah Air ternyata bukan mitos.
"Badan industri atau korporasi teror itu nyata ada di sekitar kita," kata Ibrahim.
Ia menyampaikan kesimpulan tersebut usai membaca buku 'Narasi Mematikan Pendanaan Teror di Indonesia' karya Noor Huda Ismail. Ia membedahnya bersama dosen Fakultas Psikologi UI Dr Mirra Noor Milla di Universitas Paramadina, Kamis (27/7/2023). Turut berbicara dalam acara itu dua mantan penggalang dana terorisme yang menjadi sumber dalam buku tersebut, Hendro Fernando dan Munir Kartono, serta Noor Huda.
Para pelaku terkait terorisme, menurut Ibrahim, umumnya secara kasat mata bersikap dan berperilaku saleh. Sehingga bila kemudian aparat menangkapnya, orang-orang di sekitar yang mengenal akan menepis dan meragukan bahwa mereka terlibat terorisme.
"Kesaksian yang lazim terlontar kan kalau si X itu murah hati, suka sedekah, rajin salat ke masjid, dan lain sebagainya," ujarnya.
Huda melakukan penelitian terkait pendanaan terorisme selama setahun. Tapi untuk menuliskannya, koresponden The Washington Post biro Asia Tenggara, 2002-2005, itu. cuma butuh waktu tiga bulan. Proses penelitian cukup lama karena dia tak ingin mencelakakan para nara sumber yang disebutnya sebagai 'credible voice'.
"Bila ada yang mundur di tengah jalan karena alasan tertentu, ya dipersilakan," kata Huda yang mengaku banyak gangguan setiap kali mengurusi isu terorisme.
Ia menghimpun data dan berbincang mendalam dengan para narasumber atau credible voice yang merupakan narapidana terorisme yang terlibat dalam pendanaan kegiatan teror. Huda menguliti pendanaan teroris di Indonesia, termasuk pengalaman dari mantan narapidana yang mengurus soal aliran dana para teroris. Dalam buku tersebut, dijelaskan peran narasi dalam konteks terorisme, radikalisme khususnya di pendanaan terorisme.
Dalam mencari pendanaan untuk melakukan aksi-aksi mereka, kata Huda, kelompok-kelompok teroris itu telah mengalami transformasi. Tidak hanya merampok, mereka juga memperoleh pendanaan melalui jalur-jalur formal seperti mendirikan LSM, yayasan, lembaga pendidikan, serta memakai teknologi baru seperti crypto currency.
"Dari sini ternyata terjadi pergeseran strategi, dan narasi telah menjadi unsur penting untuk mendapatkan pendanaan tersebut," kata Huda yang kini aktif sebagai visiting fellow di RSIS, Nanyang Technological University, Singapura.
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.
Saksikan juga 'Lansia Penjual 1000 Detonator Dibekuk, Ada Dugaan Jaringan Teroris':
(jat/mae)