Di saat aksi terorisme yang menurun, pendanaan terorisme bak hantu yang terus bergerilya mencari celah dan cara baru untuk tetap bergerak. Karena itu, upaya pengumpulan dana tak cuma dilakukan secara konvensional/tradisional lewat kotak-kotak amal, tapi juga memanfaatkan jaringan internet.
"Saya melakukannya via internet dengan cara membobol akun PayPal nasabah. Tapi saya ngambil ya nggak banyak-banyak, paling lima dolar," kata Munir Kartono seusai bedah buku 'Narasi Mematikan: Pendanaan Teror di Indonesia' karya Noor Huda Ismail di Universitas Paramadina, Jakarta, Kamis (27/7/2024).
Orang-orang yang terlibat dalam tindak pidana terorisme, ia melanjutkan, tak sedikit yang terpelajar dan melek teknologi. Mereka terus berusaha dengan teknologi untuk melakukan aksi pendanaan terorisme untuk masa depan. Via internet, kata Munir, banyak hal bisa dimonetasi, salah satunya game atau judi online.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pendanaan merupakan urat nadi dalam tindakan terorisme selain ideologi. Kalau lewat kencleng-kencleng amal di pengajian itu tradisional," imbuh eks anggota Hizbut Tahrir Indonesia dan mantan simpatisan ISIS itu. Munir mengaku melakukan aksinya sejak 2010-2015. Kala itu diamasih mahasiswa jurusan informatika di sebuah perguruan tinggi.
Namun Munir mengaku tak pernah tahu aliran dana dan penggunaan yang telah dihimpunnya. Karena itu ketika tahu bahwa aksi bom bunuh diri di Mapolresta Solo pada 5 Juli 2016 oleh Nur Rohman, warga Sangkrah, Pasar Kliwon, Solo, Jawa Tengah dia makin merasa bersalah.
Peristiwa bom bunuh diri ini membuat salah satu anggota Provos Polresta Solo Brigadir Bambang Adi Cahyanto (sekarang berpangkat Ipda) menjadi korban. Bambang terluka lantaran saat itu menahan pelaku bersama sepeda motornya yang akan masuk ke halaman Mapolresta Solo.
Munir divonis lima tahun penjara. Namun, hanya menjalani hukuman 3,8 tahun dan bebas tahun 2020. Dia menjalani pembinaan di bawah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Selepas bebas dia meminta maaf kepada warga Solo dan Bambang. "Saya ingin menjadi teladan bagi anak-anak saya," ujarnya.
Acara bedah buku yang diikuti Greg Barton pengamat politik dari Deakin University, Melbourne, Australia secara online.
![]() |
Dalam acara itu turut diputar film berdurasi 9 menit bertajuk 'Dari Kecewa Pada Bapak Menjadi Pendana ISIS'. Film ini berkisah tentang Munir Kartono, sejak tertangkap aparat pada 2015 dan didakwa sebagai pendonor terorisme di Indonesia.
Film tersebut mengungkap perjalanan Munir menjadi radikal karena permasalahan di keluarganya, yaitu kekecewaannya kepada sosok bapaknya. Juga bagaimana Munir bergabung dengan beberapa komunitas ekstrem dan mendanai beberapa serangan teror di Indonesia. Dalam proses reintegrasinya, Munir menceritakan bagaimana peran keluarganya, terutama anak-anaknya yang merindukan sosok Bapak yang melindungi anak-anaknya.
Simak juga 'Polisi se-ASEAN Bekerjasama, Buru Pelaku TPPO hingga Terorisme':