Polri kini mengutamakan aspek psikologi para calon anggotanya. Dalam rekrutmen anggota baru, seperti seleksi calon taruna Akademi Kepolisian (Akpol), Staf Kapolri bidang Sumber Daya Manusia (SSDM) menerapkan bobot nilai psikologi 50 persen, dibanding nilai akademik dan jasmani.
Gubernur Akpol, Irjen Krisno Halomoan Siregar, mengatakan pihaknya juga memberlakukan hal yang sejalan dengan SSDM Polri. Koefisien nilai psikologi taruna di Akpol sebesar 35 persen.
"SSDM itu sudah melalui survei menjadikan bobot psikologi 50 persen. Kami selaras dengan itu, namun sspek psikologinya juga diterjemahkan dalam nilai mental, sikap, kepribadian (MSP). Itu koefisiennya gede juga di Akpol, 35 persen," kata Krisno kepada detikcom, Rabu (26/7/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di mana 40 persen akademik dan 25 persen jasmani," sambung dia.
Krisno menjelaskan penentuan bobot nilai MSP di Akpol juga telah melewati survei. Krisno menyebut pihaknya yang bertugas membentuk calon perwira Polri, berharap lulusannya memiliki nilai kebhayangkaraan dan patriotisme.
"Jadi menetapkan MSP itu lewat satu survei, karena kami kan lembaga pembentukan dari seseorang yang kertas kosong, kemudian kita 'warnai', kita berikan 'coretan-coretan' sesuai desain yang kita harapkan menjadi taruna yang memiliki nilai kebhayangkaraan, kebangsaan, patriotisme, rela berkorban dan lainnya," jelas mantan Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri ini.
"Makanya MSP nilainya besar karena itu berkorelasi dengan tujuan dari pembentukan para taruna untuk menjadi perwira," imbuh dia.
Sebelumnya diberitakan, pengutamaan aspek psikologi dalam menyeleksi anggota baru adalah hasil dari evaluasi Polri terhadap perilaku polisi saat bertugas.
"Bobot (nilai) psikologi selalu kita evaluasi. Tahun lalu itu bobot psikologi 40 persen, tahun ini setelah kita evaluasi, kita naikkan jadi 50 persen. Lalu 30 persen nilai akademis, dan 20 persen nilai jasmani," kata Asisten Kapolri bidang SDM (As SDM Kapolri) Irjen Dedi Prasetyo kepada detikcom di Akademi Kepolisian (Akpol), Semarang, Jawa Tengah (Jateng), Sabtu (22/7).
Dedi kemudian menjelaskan catar yang nantinya mengikuti pendidikan sebagai taruna Akpol harus memiliki mental yang kuat. Terlebih setelah lulus dari Akpol, lanjut Dedi, taruna dihadapkan dengan tugas dan situasi yang kompleks, sehingga harus betul-betul memiliki dasar psikologi yang matang dalam upaya menegakkan hukum.
"Kenapa akademis 30 persen? Karena proses belajar ini kan terus menerus. Dia masih bisa belajar seiring jenjang karier kepolisiannya. Kenapa jasmani bobotnya 20 persen? Karena masih ada waktu pelatihan yang akan dijalani selama 4 tahun di Akpol, di mana setiap kenaikan tingkat akan dilatih dan dievaluasi jasmaninya," terang Dedi.
"Kalau psikologi? Dari awal sebelum mengikuti pendidikan di Akpol, dia memang harus punya dasar psikologi yang kuat. Jika psikologinya matang, mentalnya matang, sesuai harapan Bapak Kapolri (Jenderal Listyo Sigit Prabowo), diharapkan setelah lulus mereka memiliki kemampuan mengambil keputusan betul-betul humanis, memperhatikan masyarakat, menegakkan hukum yang berkeadilan bagi masyarakat," imbuh mantan Kadiv Humas Polri ini.
Tak hanya itu, Dedi menerangkan kondisi psikologi dapat mempengaruhi sikap anggota polisi dalam menjalankan tugas sehari-hari. Oleh sebab itu, porsi bobot nilai psikologi catar Akpol dinaikkan, sebagai upaya Polri memastikan SDM-SDM yang dicetaknya memiliki kemampuan kontrol diri yang baik.
"Psikologi menjadi utama karena dalam pelaksanaan tugas, anggota Polri diberi kewenangan diskresi kepolisian. Jadi kami berupaya melahirkan SDM-SDM Polri mereka dapat mengontrol diri sehingga terhindar dari pelanggaran, penyimpangan , arogansi. Juga untuk menekan tingkat stres anggota Polri yang berujung tindakan yang merugikan diri sendiri maupun orang lain," tutur Dedi.
Simak juga Video: Syarat Tinggi Badan Taruna Direvisi, Sampai Usia Berapa Tinggi Bisa Bertambah?