Alamat Palsu Banjiri PPDB Sistem Zonasi, Permendikbud Diminta Revisi

Perspektif

Alamat Palsu Banjiri PPDB Sistem Zonasi, Permendikbud Diminta Revisi

Danu Damarjati - detikNews
Selasa, 18 Jul 2023 12:29 WIB
Guru mengajar seorang siswa di SD Negeri Sriwedari 197 Solo, Jawa Tengah, Senin (11/7/2022). Sekolah yang letaknya ditengah Kota Solo tersebut hanya mempunyai satu murid baru pada tahun ajaran 2022/2023 akibat sistem zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) daring dan letak sekolah yang tidak berada di lingkungan perkampungan. ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/YU
Guru mengajar seorang siswa di SD Negeri Sriwedari 197 Solo, Jawa Tengah, Senin (11/7/2022). Dampak PPDB jalur zonasi. (ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha)
Jakarta -

Banyak orang tua calon murid memalsukan alamat domisili agar anak mereka bisa diterima di sekolahan favorit mereka. Siasat 'alamat palsu' itu dijalankan untuk menembus sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) yang mengatur PPDB kini diminta direvisi.

Sebagaimana diketahui, hanya calon-calon siswa yang relatif dekat dengan sekolahan saja yang punya peluang lebih banyak untuk diterima di sekolahan yang bersangkutan. Itulah esensi sistem zonasi. Di luar itu, ada jalur afirmasi bagi calon siswa kurang mampu, perpindahan orang tua, dan jalur prestasi.

Semua itu diatur dalam Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 tentang PPDB, diteken Menteri Nadiem Makarim pada 7 Januari 2021. Sebenarnya, sistem jalur zonasi ini merupakan warisan dari Mendikbud terdahulu, yakni Muhadjir Effendy. Niatannya adalah untuk pemerataan kualitas pendidikan di semua sekolah sehingga tidak ada lagi favoritisme segelintir sekolah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Memeratakan kualitas pendidikan itu tidak dengan sistem zonasi, tapi memeratakan fasilitas, sumber daya manusia (guru dan tenaga kependidikan, serta anggaran. Kalau sekolah favorit itu terbentuk secara natural, mestinya tidak dimatikan oleh pemerintah lewat zonasi," kata pemerhati pendidikan dari Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa (PKBTS), Ki Darmaningtyas, kepada detikcom, Selasa (18/7/2023).

Dia juga menyoroti standar ganda dan kontradiksi pemerataan dan penghapusan favoritisme sekolah lewat sistem zonasi. Sekolah favorit seolah diharamkan, namun di sisi lain perguruan tinggi negeri didorong untuk mendapat ranking papan atas dunia. Seharusnya, cara berpikir yang melandasi sistem pendidikan bisa lebih adil.

ADVERTISEMENT

"Aneh memang, ketika sekolah tidak bermutu di-bully, tapi ketika ada sekolah unggulan/favorit kok dimatikan," kata Darmaningtyas.

Lanjut ke tataran yang lebih praktis, telah terbukti bahwa banyak orang tua calon siswa memalsukan Kartu Keluarga (KK) supaya anaknya terdata punya rumah di zonasi sekolah yang mereka daftar. Di Jawa Barat saja, 4.792 siswa dibatalkan dari PPDB tahun ini. Komisi X DPR bahkan mengapresiasi sikap tegas Pemprov Jabar yang mencoret keikutsertaan 4.791 siswa yang memalsukan data di Kartu Keluarga (KK) itu. Namun demikian, Darmaningtyas tidak setuju. Menurut Darmaningtyas, itu bukan sepenuhnya kesalahan pihak pendaftar yang memalsukan data.

"Kesalahan tidak bisa ditimpakan kepada orang tua calon murid yang berusaha dengan berbagai cara agar anaknya dapat diterima di sekolah negeri yang mereka inginkan. Kesalahannya ada pada pembuat sistem PPDB yang tidak mengenali persoalan geografis, ekonomi, sosial, dan budaya Indonesia," Kata Darmaningtyas.

Dia memberi contoh. Sekolahan yang berada di pusat kota tentu jauh dari permukiman penduduk, karena sekolah di pusat kota cenderung berada di lingkungan perkantoran, pertokoan, atau fasilitas publik. Jarak ke permukiman cenderung lebih jauh bila dibandingkan dengan sekolah yang beralamat di pinggiran kota. Maka seharusnya, persoalan PPDB ini diserahkan saja ke pemerintah daerah (pemda) yang 'lebih tahu medan'. Pemerintah pusat tidak perlu banyak ikut campur karena 'tidak tahu medan'.

"Penerimaan murid baru itu domain Pemda Kabupaten/Kota (pendidikan dasar) dan Provinsi (pendidikan menengah). Sebaiknya serahkan saja ke Pemda, jangan ada intervensi pusat. Intervensi pusat justru bisa bikin kacau seperti sekarang ini," kata Darmaningtyas.

Ketua Bidang Advokasi Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Darmaningtyas. Darmaningtyas. (Heldania UItri Lubis/detikcom)

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menilai pihak yang bersalah adalah kebijakan Kemendikbudristek. Pihak Pemerintah Daerah tidak bersalah. Soalnya, pihak yang sebenarnya menciptakan sistem PPDB adalah pemerintah pusat yakni Kemendikbud.

"Menurut JPPI, pangkal masalah ini bersifat sistemik dan letaknya ada di pemerintah pusat, Kemendikbudristek, bukan di level Pemda," kata Ubaid dalam keterangan pers yang diterima detikcom.

Permendikbud perlu direvisi

Baik Darmaningtyas maupun Ubaid Matraji menilai Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 tentang PPDB perlu direvisi. Darmaningtyas mengusulkan agar Pemendikbud itu diperbaiki supaya sifatnya tidak sentralistik. Dia melandaskan argumennya pada UU Nomor 23 Tahun 2014 bahwa pendidikan dasar adalah urusan Kabupaten/Kota, sedangkan pendidikan menengah adalah urusan Pemerintah Provinsi. Kemendikbud disarankannya agar membuat standardisasi, kurikulum, dan evaluasi saja.

"Permendikbudristek yang mengatur PPDB agar tidak tersentral. Itu domain Pemda, bukan domain Kemdikbudristek," kata Darmaningtyas.

Ubaid Matraji merekomendasikan agar Permendikbud Nomor 1 Tahun 2022 itu perlu diganti supaya lebih adil bagi calon siswa. Revisi atau aturan baru dari pemerintah pusat tidak perlu menunggu Pemda membuat aturan turunan.

"Permendikbud No.1 Tahun 2021 harus direvisi dan diganti dengan aturan baru yang jelas dan berkeadilan. Aturan ini harus bisa langsung diterapkan tanpa harus menunggu Pemda membuat aturan turunan yang malah membingungkan dan menimbulkan diskriminasi di daerah-daerah," kata Ubaid.

Pembuatan peraturan baru pengganti Permendikbud Nomor 1 Tahn 2021 harus mewajibkan semua Pemda untuk melibatkan semua sekolah, tidak cuma sekolah negeri saja. Soalnya, kuota sekolah negeri sangat minim. Intinya, pemerintah perlu menjamin semua calon murid dapat sekolah.

"Jangan lagi menggunakan 'sistem seleksi' dalam aturan PPDB yang baru. Gunakan sistem yang berkeadilan yang memastikan 'no one left behind' dalam pemenuhan hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas," kata Ubaid.

Meski begitu, Ubaid menilai sistem zonasi bisa terus diterapkan. Namun, penerapan sistem zonasi perlu dibarengi dengan pemerataan kualitas sekolah baik swasta maupun negeri.

(dnu/imk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads