DPR RI telah mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Kesehatan yang dibuat dengan metode omnibus law menjadi UU. Pakar Kebijakan Kesehatan Hermawan Saputra memberikan pujian atas kerja keras DPR RI dalam memprioritaskan pembahasan UU Kesehatan, termasuk dengan mengakomodir aspirasi dari berbagai kalangan.
"Di tengah pro dan kontra terkait pembahasan RUU Kesehatan, sebenarnya sejak baru menjadi prarancangan pun DPR dan Pemerintah sudah betul-betul berinisiasi. DPR sudah bekerja keras dan kami pun beberapa kali sudah diajak berbicara dan berdiskusi," kata Hermawan dalam keterangan tertulis, Kamis (13/7/2023).
Hermawan menyampaikan penyelesaian pembahasan UU Kesehatan dengan tepat waktu akan mempercepat proses transformasi pelayanan kesehatan yang sudah dinantikan masyarakat. Dengan mengesahkan RUU tersebut, hal itu dinilai sebagai bentuk kontribusi DPR RI dalam mewujudkan transformasi pelayanan kesehatan di Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hermawan juga menilai DPR tidak mengabaikan partisipasi masyarakat. Sebab, Panitia Kerja (Panja) RUU Kesehatan DPR RI telah aktif mengajak perangkat Organisasi Profesi (OP) di bidang kesehatan untuk beraudiensi.
"Ada yang menganggap seolah-olah tertutup, seolah-olah dirahasiakan dan seolah-olah menepikan berbagai aspirasi. Padahal pihak-pihak yang cukup berperan, utamanya dari anggota DPR yang tergabung dalam Panja RUU Kesehatan itu cukup bekerja keras dan terus menyerap aspirasi," ucapnya.
Diketahui, Panja RUU Kesehatan DPR RI berkali-kali telah melakukan audiensi dengan OP demi menyerap aspirasi dalam merumuskan RUU Kesehatan. Tak hanya dengan kalangan OP, Panja RUU Kesehatan DPR RI juga melakukan audiensi dengan para akademisi, kalangan perguruan tinggi, hingga perwakilan masyarakat yang concern dengan sistem kesehatan di Indonesia.
Beberapa OP yang berdiskusi dengan DPR RI di antaranya adalah Pengurus Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), Pengurus Asosiasi Rumah Sakit Vertikal Indonesia (ARVI), Pengurus Asosiasi Rumah Sakit Daerah (ARSADA), Pengurus Asosiasi Rumah Sakit Swasta Seluruh Indonesia
(ARSSI), dan Pengurus Perhimpunan Klinik Dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Indonesia (PKFI).
Selain itu, Panja RUU Kesehatan juga melakukan audiensi dengan sejumlah asosiasi tenaga kesehatan (Nakes). Di antaranya Pengurus Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Pengurus Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Pengurus Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI), Pengurus Ikatan Ahli Gizi Kesehatan Masyarakat Indonesia dan Pengurus Persatuan Ahli Farmasi Indonesia (PAFI).
Bahkan setelah UU Kesehatan disahkan, lanjut Hermawan, DPR RI menerima perwakilan 23 organisasi kesehatan yang mendukung pengesahan UU tersebut. Perwakilan 23 organisasi itu pun menyampaikan terima kasih dan apresiasi mereka untuk DPR RI karena telah mengesahkan UU Kesehatan yang disebut dibuat demi kepentingan rakyat Indonesia.
Hermawan menilai UU Kesehatan akan membenahi regulasi sistem kesehatan nasional yang saat ini tumpang tindih. UU Kesehatan juga dinilai olehnya bisa menjadi payung hukum bagi keamanan, kenyamanan, dan kesejahteraan para tenaga kesehatan (nakes) dan tenaga medis saat menjalankan profesinya.
"Pada prinsipnya RUU Kesehatan yang sudah disahkan menjadi UU ini harus dipahami sebagai sebuah kebutuhan dan juga harmonisasi kebijakan di bidang kesehatan itu sendiri," sebut Hermawan.
"Kehadiran UU ini dirasakan cukup signifikan karena menjadi poin-poin atau guidance (panduan) dari kebijakan sebelumnya," imbuh Ketua Umum Terpilih Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) tersebut.
Simak juga Video 'UU Kesehatan Baru Diklaim Sempurnakan Sejumlah Aspek, Apa Saja?':
Hermawan menambahkan pengesahan UU Kesehatan sudah tepat karena dapat menjawab keraguan masyarakat tentang pelayanan kesehatan. Ia menyebut, kini saatnya sistem kesehatan di Indonesia dibenahi agar lebih baik lagi karena sudah ada payung hukum yang komprehensif.
"Tinggal bagaimana Pemerintah dan juga melalui kemitraan dengan DPR untuk menyampaikan argumen secara filosofis dari berbagai substansi UU ini. Karena sesungguhnya memang RUU ini wajar untuk dinaikkan menjadi UU," ungkap Hermawan.
Ahli epidemiologi ini pun mendorong Pemerintah bersama stakeholders terkait untuk memberikan edukasi serta sosialisasi mengenai UU Kesehatan kepada masyarakat, termasuk kepada para nakes dan tenaga medis yang bernaung dalam payung hukum UU Kesehatan.
"Berikan pemahaman dan kejelasan kepada publik, serta jelaskan tentang bagaimana paradigma pembangunan kesehatan lewat UU ini. Mulai dari transisi lingkungan, transisi teknologi, dan juga sumber daya kesehatan itu sendiri sehingga cara pandang dan pendekatan kita terhadap manajemen dan penanganan kesehatan sama sekali berbeda," paparnya.
"Tentunya termasuk menjelaskan tentang hak-hak tenaga kesehatan dan tenaga medis yang dilindungi lewat UU Kesehatan yang merupakan inisiatif DPR ini," sambung Hermawan.
Tugas DPR pun dinilai tak hanya berhenti sampai pengesahan UU Kesehatan, menurutnya. Hermawan mengatakan sudah sepatutnya DPR mengawal implementasi kebijakan-kebijakan Pemerintah yang didukung oleh UU Kesehatan sebagai beleid untuk transformasi kesehatan dalam negeri.
"DPR perlu mengawal dan melakukan pengawasan pada transformasi kesehatan Indonesia yang akan efektif dilakukan setelah adanya UU Kesehatan Omnibus Law," terang Pengajar Ilmu Kesehatan Masyarakat Uhamka Jakarta tersebut.
Di sisi lain, Hermawan mengatakan kebutuhan pelayanan kesehatan di berbagai daerah Indonesia memiliki kebutuhan yang beragam. Untuk itu, ia mendorong kolaborasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam menerapkan UU Kesehatan secara baik dan merata.
"Kita memahami bahwa tidak selalu risiko kesehatan itu sama di seluruh daerah yang ada di Indonesia, dan tidak selalu sumber daya kesehatan itu tersedia secara baik dan merata," sebut Hermawan.
"Oleh karena itu, penyesuaian kepada komposisi pelayanan kesehatan, ke tenaga kesehatan dan peran daerah dalam penyediaan sumber daya kesehatan itu sangat penting," tambahnya.
Hermawan mengingatkan Pemerintah mengenai kebijakan anggaran pada sektor kesehatan yang menjadi amanat dalam UU Kesehatan. Salah satu hal yang menjadi sorotan dari Omnibus Law UU Kesehatan adalah dihapuskannya ketentuan Pasal 171 ayat (1) dan (2) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang mengamanatkan alokasi anggaran kesehatan minimal 5% dari APBN.
"Walaupun Mandatory spending (pengeluaran atau belanja negara) itu dihapuskan, tetapi kemampuan akan kebijakan keberpihakan anggaran, terutama terhadap sektor kesehatan ini harus betul-betul diatur di dalam tata laksana pembangunan. Khususnya melalui norma standar prosedur dan kriteria yang ditetapkan oleh Kemenkes untuk seluruh jaringan pemangku kebijakan kesehatan di Indonesia," imbau Hermawan.
Sebelumnya Ketua DPR RI Puan Maharani telah memastikan seluruh hak nakes tidak akan hilang dengan disahkannya UU Kesehatan. Hal tersebut ia sampaikan usai memimpin pengesahan UU Kesehatan dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa (11/7).
"Hak-hak bagi nakes yang sebelumnya telah dicantumkan dalam UU Kesehatan tidak akan hilang dalam UU ini. Justru hak-hak bagi nakes akan ditingkatkan dalam hal pemberian kesejahteraan demi kelangsungan hidup yang lebih baik lagi," ungkap Puan.
Hal senada juga disampaikan Ketua Panja RUU Kesehatan Emanuel Melkiades Laka Lena. Ia mengatakan beleid ini bertujuan untuk mendukung transformasi kesehatan nasional, termasuk dengan menunjang perlindungan terhadap nakes dan tenaga medis.
"Terutama yang bertugas di daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan serta daerah bermasalah kesehatan atau daerah tidak diminati, dengan memperoleh tunjangan atau insentif khusus, jaminan keamanan, dukungan sarana prasarana dan alat kesehatan," jelas Melki.
"Serta kenaikan pangkat luar biasa, dan perlindungan dalam pelaksanaan tugas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," imbuh Wakil Ketua Komisi IX DPR RI itu.
UU Kesehatan juga mengamanatkan pemberian perlindungan hukum kepada tenaga medis dan tenaga kesehatan saat menjalankan praktik. Tenaga kesehatan dan tenaga medis berhak mendapatkan perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar dan etika profesi, serta kebutuhan kesehatan Pasien.
"Selain itu para tenaga medis dan tenaga kesehatan juga mendapatkan perlindungan atas keselamatan, kesehatan kerja, dan keamanan," urai Melki.
Terkait dengan pendanaan kesehatan, UU Kesehatan mengamanatkan agar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memprioritaskan anggaran kesehatan untuk program dan kegiatan dalam penyusunan APBN dan APBD. Melki menerangkan, pengalokasian anggaran kesehatan tersebut termasuk memerhatikan penyelesaian permasalahan kesehatan berdasarkan beban penyakit atau epidemiologi.
"Dilakukan juga pemantauan pendanaan kesehatan secara nasional dan regional untuk memastikan tercapainya tujuan pendanaan kesehatan melalui sistem informasi pendanaan kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional," ucapnya.
Melki pun menambahkan, komunikasi antarpemangku kebijakan dengan OP tidak akan berhenti setelah UU Kesehatan disahkan. Ia memastikan, setelah ini DPR akan berfokus untuk mengawal penerbitan peraturan turunan UU Kesehatan yang dibuat Pemerintah.
"Yang juga mesti menjadi tugas kita adalah menghasilkan UU ini punya turunan peraturan baik itu PP maupun peraturan level bawahnya," tutup Melki.