"Saya mengajak semua pihak melihat permasalahan ini dengan kacamata yang lebih luas dan tidak membuat persepsi yang bisa menimbulkan misperception dari masyarakat," ucapnya.
"Jangan karena ada stigma-stigma tertentu, atau kesalahan satu dua anggota Dewan jadi kesannya apa yg dilakukan DPR selalu salah. Mari sama-sama menilai dengan obyektif karena ada banyak sekali anggota DPR yang bekerja keras demi kesejahteraan rakyat," tambah Indra.
Hal ini sama seperti dengan aturan mengenai pembatasan durasi bicara dalam rapat paripurna. Dalam beberapa kali kesempatan, masyarakat menyoroti fenomena matinya mikrofon ketika anggota DPR sedang melakukan interupsi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini berkaitan dengan teknis untuk mengatur lalu lintas interaksi di rapat paripurna supaya lebih kondusif. Jadi mikrofon mati itu otomatis terjadi setelah 5 menit dinyalakan, bukan karena sengaja dimatikan," urai Indra.
"Sebenernya soal mikrofon otomatis mati ini sudah dipahami semua anggota DPR. Tatib ini terkait dengan teknis, dan demi kelancaran jalannya rapat paripurna agar semua anggota DPR punya kesempatan bicara yang sama," tandasnya.
Sebelumnya diberitakan, Formappi mengkritik minimnya kehadiran secara fisik anggota DPR RI dalam rapat paripurna. Formappi mendorong agar tata tertib rapat paripurna diubah usai status pandemi COVID-19 dicabut.
"Soal minimnya kehadiran anggota DPR di rapat paripurna memang sudah merupakan pemandangan biasa. Kemalasan anggota DPR mengikuti rapat paripurna pun bukan cerita baru. Di masa pandemi ketidakhadiran di ruangan rapat bukan sebuah masalah karena anggota bisa hadir secara virtual melalui Zoom. Tatib DPR pun mengukuhkan kehadiran virtual itu," kata peneliti Formappi Lucius Karus kepada wartawan, Selasa (4/7).
"Jadi ketidakhadiran anggota DPR di rapat paripurna itu sudah jadi trademark DPR. Saking sudah jadi biasa, DPR sendiri sudah tak merasa ada masalah dengan ketidakhadiran itu," imbuhnya.
(fca/rfs)