Tongkat Kiai Cokro milik Pangeran Diponegoro yang dikaitkan dengan kepemimpinan ramai dibahas. Tongkat tersebut sempat ada di Belanda selama 183 tahun.
Tongkat pusaka Pangeran Diponegoro itu dikembalikan ke Indonesia pada 2015 lalu. Tongkat itu dikembalikan pihak keluarga Jean Chretien baron Baud, Gubernur Jenderal Belanda yang bertugas di Hindia Belanda pada 1833-1836.
"Sebagai ahli waris Jean Chretien Baud, menyerahkan tongkat Kanjeng Kyai Tjokro (Cakra) yang pernah dimiliki oleh Pangeran Diponegoro," demikian keterangan di situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Kamis (22/6/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tongkat Pusaka Pangeran Diponegoro berbentuk melingkar seperti cakra pada bagian kepala. Tongkat ini diberikan kepada leluhur Baud pada tahun 1834.
"Tongkat Pusaka tersebut diterima leluhur Baud ketika itu sebagai hadiah dalam sebuah periode yang bergejolak akibat adanya persaingan politik dan hubungan kekuasaan kolonial," katanya.
Setelah dikembalikan ke Indonesia, Tongkat Kiai Cokro sempat dipamerkan di Galeri Nasional, Jl Medan Merdeka Timur, Jakarta, Jumat (6/2/2015).
Saat itu, pihak keluarga JC Baud berharap penyerahan tongkat pusaka Pangeran Diponegoro menjadi momentum yang penting secara simbolis dalam memasuki era baru yang diisi dengan saling menghormati, persahabatan, dan kebersamaan.
![]() |
Tentang Tongkat 'Kiai Cokro' Diponegoro
Berdasarkan arsip berita detikcom, Pangeran Notoprojo diberikan tongkat Kiai Cokro diberikan ke JC Baud pada Juli 1834 saat melakukan inspeksi pertama di Jawa Tengah pada musim kemarau. Pangeran Notoprojo adalah cucu dari komandan perempuan pasukan Diponegoro, Nyi Ageng Serang. Tongkat itu berada di tangan Pangeran Notoprojo setelah penangkapan Diponegoro pada fase akhir Perang Jawa, kemungkinan pada 11 Agustus 1829.
Pangeran Notoprojo memberikan tongkat ini pada JC Baud karena berusaha mengambil hati para penguasa kolonial yang baru di Jawa dengan mempersembahkan artefak ini. Notoprojo menjadi sekutu politik yang penting bagi Belanda setelah menyerahkan diri pada 24 Juni 1827. JC Baud membawa tongkat itu ke Belanda dan mewariskan pada keturunannya.
"Pada 2012, ayah dari kakak beradik Erica Lucia Baud dan Michiel Baud meninggal dunia. Mereka ini keturunan JC Baud, cicit-cicitnya," jelas Nebojsa Djordevic sejarawan seni dari Serbia yang meneliti Diponegoro dari lukisan untuk thesisnya di UNS-Solo saat ditemui di Galeri Nasional, Jl Medan Merdeka Timur, Jumat (6/2/2015).
Sejak tahun 2012 keluarga JC Baud terus memelihara warisan kakek buyutnya. Pada Agustus 2014, Harm Stevens dari Rijkmuseum datang kepada keluarga Baud untuk meneliti tentang tongkat Diponegoro.
Simak Video 'Jubir soal Anies Terima Tongkat Pangeran Diponegoro: Tugas Kenegaraan':
Simak berita selengkapnya di halaman selanjutnya.
"Erica dan Michiel sudah tahu tongkat ini punya Pangeran Diponegoro. Mereka lantas bertanya pada Stevens, apa yang harus mereka lakukan dengan ini. Steven menyarankan untuk mengembalikannya ke Indonesia," jelas Nebojsa.
Dalam tongkat itu, terselip kertas yang keterangannya ditulis JC Baud. Dijelaskan, asal usul tongkat yang dibuat abad ke-16 itu yang aslinya dimiliki Sultan Demak, kemudian ke tangan Diponegoro, ke Notoprojo hingga ke JC Baud.
"Tongkat ini selalu dibawa Pangeran Diponegoro setiap kali melakukan perjalanan ziarah ke tempat-tempat suci untuk memohon agar segala kegiatannya diberkati," demikian tertulis dalam kertas tersebut.
Pengembalian tongkat itu juga dibantu Rijkmuseum, Kedubes Belanda di Jakarta, serta Peter BR Carey, sejarawan yang sudah 40 tahun meneliti Diponegoro, hingga datang ke Indonesia pada Kamis (5/2/2015).
Diponegoro mendapatkan tongkat itu dari seorang warga biasa asal Jawa. Tongkat itu dinamakan Tjokro atau Cakra karena ujungnya bulat seperti bulan.
Simbol cakra sepertinya memiliki makna penting bagi Diponegoro, mengingat cakra adalah senjata Dewa Wisnu, yang inkarnasinya yang ke-7 sebagai penguasa dunia dengan menggenggam senjata cakra. Ini dikaitkan dengan mitologi Jawa dengan kedatangan Sang Ratu Adil atau erucakra.
Diponegoro memulai memakai gelar ini di awal Perang Jawa dan menganggap perjuangannya sebagai perang suci untuk mengembalikan tatanan moral ilahi demi terjaminnya kesejahteraan rakyat Jawa. Panji pertempuran Diponegoro menggunakam simbol cakra dengan panah menyilang.