Pada era 70'-an, Abie Wiwoho hanya mahasiswa biasa yang tengah mengenyam pendidikan di Akademi Penilik Kesehatan Jakarta. Namun belakangan ini, ia dikenal sebagai 'Master Jamban' karena inovasinya dalam pengelolaan air tinja.
Pergerakan Abie dalam mendalami isu sanitasi dimulai sejak ia merantau ke Tondano, Sulawesi Utara. Di sana, dirinya bertugas membangun jamban bagi warga yang membutuhkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lulusan S2 Universitas Indonesia itu menemui banyak masalah sanitasi di sekitar tempat tinggalnya. Di Manado misalnya, ia melihat banyak persoalan pada Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Namun, hal itu tidak seberapa bila dibandingkan dengan kasus yang ditemuinya di Jakarta.
Ia mengatakan, limbah pencemaran di Jakarta tidak hanya berasal dari sektor domestik, namun juga industri. Saluran-saluran limbah itu bocor dan meresap ke saluran air. Hingga akhirnya, sulit menemukan sungai jernih di Jakarta.
Menurutnya, IPAL di Jakarta jauh dari kata layak. Bukan hanya di permukiman, banyak kasus kualitas IPAL buruk juga ditemukan di instansi pemerintahan. Padahal, IPAL itu didatangkan dari dari luar negeri. Artinya, mereka membeli dengan harga yang tidak murah. Buruknya kondisi IPAL sering kali disebabkan oleh kerusakan atau malafungsi. Lambatnya proses perbaikan membuat IPAL yang sudah terinstal tidak bisa bekerja secara optimal.
Berangkat dari persoalan tersebut, Abie yang saat itu berprofesi sebagai dosen pun tergelitik untuk mempelajari lebih dalam mengenai pengolahan limbah domestik. Ia bertekad untuk menciptakan rancangan IPAL yang sederhana dengan harga lebih terjangkau. Tujuannya, agar siapa saja bisa membuat IPAL sendiri dan tidak melulu bergantung pada tenaga ahli luar negeri.
"Pilihan kita hanya sanitarian yang mengelola IPAL itu, itu dicerdaskan. Kalau udah cerdas, mereka agak sulit kalau dibohongi orang," tutur Abie.
Berbekal rasa ingin tahu dan kebebasan untuk mengakses buku di perpustakaan tempatnya bekerja, Abie terus berusaha menciptakan rancangan IPAL yang paling ideal dan sesuai dengan kondisi di lingkungan dalam negeri. Bahkan, Abie sampai mendapat julukan 'Doktor', akronim dari 'Mondok di Kantor' saking seringnya Abie menginap di kantor untuk belajar.
Bertahun-tahun jatuh bangun, Abie berhasil membuat rancangan IPAL dengan teknologi biofilter. Ia memanfaatkan barang-barang bekas seperti tempurung kelapa, bambu, dan botol minuman kosong untuk membantu proses penguraian kotoran.
"Tempurung itu seluruh Indonesia ada tempurung. Sisa kelapa itu nanti bercampur dengan air yang berasal dari feses manusia itu justru membentuk koloni bakteri pengurai yang sangat cepat. Bisa-bisa, 2-3 hari sudah terbentuk koloni-koloni bakteri pengurai. Baik yang anaerob, maupun yang aerob," jelas Abie.
Melalui rancangan Abie, biaya pembuatan IPAL bisa ditekan. Abie menuturkan, IPAL rancangannya hanya membutuhkan biaya kurang dari 30 juta rupiah per meter kubik untuk ukuran kecil, dan kurang dari 35 juta rupiah untuk ukuran lebih besar. Sedangkan, IPAL buatan luar negeri umumnya butuh biaya 50 - 60 juta rupiah per kubik, belum termasuk akomodasi dan pajak.
Kini, IPAL komunal maupun IPAL mandiri rancangan Abie sudah banyak digunakan di berbagai daerah di Indonesia. Mulai dari Jakarta, Bekasi, Medan, Payakumbuh, dan lain-lain. Meski demikian, masih ada orang-orang yang meragukan kinerja IPAL rancangannya, semata-mata karena bukan buatan luar negeri.
"Sampai sekarang ini, banyak orang, pimpinan, namanya IPAL itu harus mahal. Harus dibuat oleh ahli, harus dibuat oleh, apa, menggunakan bahan yang impor, gitu. Pemahamannya masih, masih belum percaya, ada bangsa Indonesia yang mampu membuat IPAL dengan sumber daya alam yang ada dan sumber daya manusia asli Indonesia itu," jelas Abie.
Hingga kini, Abie tak berniat mematenkan ciptaannya ini. Sebab, mematenkan ciptaannya justru tak sesuai dengan tujuan Abie di awal, yaitu agar siapapun bisa membuat IPAL sendiri, bahkan tanpa bantuan ahli.
Bagi Abie, imbalan yang paling ia harapkan adalah melihat semua sanitarian di Indonesia tahu cara membuat IPAL. Oleh karena itu, Abie tetap membuka jalan bagi siapapun yang ingin belajar dengannya tentang pengolahan limbah domestik.
"Nah ini saya sekarang ini mau saya, tidak ada sanitarian di Indonesia yang nggak bisa bikin IPAL. Jadi, termasuk dosen-dosennya, kalau bisa itu juga belajar secara online atau sama saya, silakan saya tidak memikirkan apa, gaji, atau honor. Pensiun saya Insya Allah cukup. Nanti biar untuk kekayaan bangsa kita saja," pungkas Abie.
Baca juga: Master Jamban |