Kritikan terus berdatangan terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK dari 4 tahun menjadi 5 tahun. Salah satunya datang dari pakar hukum tata negara dan konstitusi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Fahri Bachmid.
Fahri menilai putusan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK menjadi 5 tahun sangat problematis. Tak hanya itu, Fahri menyebut putusan itu juga multitafsir.
"Jika membaca secara cermat Putusan Mahkamah Konstitusi nomor Nomor 112/PUU-XX/2022 terkait perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK yang dari semula 4 tahun menjadi 5 tahun adalah sangat problematis serta mengandung sifat multitafsir jika ada pihak yang mencoba untuk menjustifikasi putusan a quo terhadap eksistensi kepemimpinan KPK saat ini," kata Fahri Bachmid kepada wartawan, Minggu (27/5/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fahri berpendapat sangat sulit untuk membangun korelasi sebagai justifikasi dari putusan MK dalam perkara Nomor 112/PUU-XX/2022 terhadap keberlangsungan serta keabsahan pimpinan KPK saat ini.
"Sebab dalam putusan itu sendiri sama sekali tidak memberikan jalan keluar sebagai konsekuensi diterimanya permohonan ini," ungkap Fahri.
Satu-satunya pertimbangan konstitusional yang MK buat adalah berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana terdapat dalam halaman 117 putusan MK itu, yang mengatakan bahwa:
Dengan mempertimbangkan masa jabatan pimpinan KPK saat ini yang akan berakhir pada 20 Desember 2023 yang tinggal kurang lebih 6 (enam) bulan lagi, maka tanpa bermaksud menilai kasus konkret, penting bagi Mahkamah untuk segera memutus perkara a quo untuk memberikan kepastian hukum dan kemanfaatan yang berkeadilan.
"Akan tetapi jangan diartikan, atau hakikatnya ini bukan merupakan pijakan konstitusional yang diberikan MK kepada pimpinan KPK saat ini sebagai sebuah pranata serta transfer kewenangan transisi sampai dengan bulan Desember 2024," bebernya.
Secara yuridis ketentuan Pasal 47 UU MK mengatur bahwa:
Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.
"Artinya secara teoritik putusan MK bersifat prospektif ke depan (forward looking), dan tidak retroaktif ke belakang (backward looking). Itu adalah prinsip dasar, sehingga dengan demikian presiden sebagai kepala negara akan diperhadapkan dengan suatu kondisi yang sangat problematis sehingga membutuhkan suatu kehati hatian yang tinggi," ujarnya.
Fahri mengatakan putusan MK itu sendiri tidak membuat kanal konstitusional. Setidak tidaknya terurai dalam bagian "ratio decidendi" atau pada bagian amar putusan itu sendiri, untuk menampung keadaan khusus mengenai kaidah peralihan.
"Semisal MK pernah buat dalam putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang pengujian UU Cipta Kerja yang mana dalam putusan itu MK mengatur hal-hal teknis yang sifatnya transisional begitu detail dan teknis, termasuk memberikan keleluasaan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan itu diucapkan," tegas Fahri.
Menurut Fahri, jika melihat putusan dalam perkara ini, maka pertimbangan MK terkait hal-hal transisi sangat sumir dan absurd. Sehingga, katanya, bila membaca pertimbangan 'reasoning' hukum maupun amar putusan dan tiba-tiba dikaitkan dengan alibi perpanjangan pimpinan KPK saat ini akan menimbulkan perdebatan.
"Hal ini idealnya harus terantisipasi lewat putusan Nomor 112/PUU-XX/2022 ini," urai Dr Fahri Bachmid.
Fahri lalu menyoroti standar ganda MK dalam memandang serta bersikap terkait 'open legal policy' yang patut dipertanyakan. Sebab, kata Fahri, meski MK menyebut perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK adalah open legal policy, tapi MK malah menyimpanginya tanpa menggunakan kaidah yang sudah ada.
"Dengan Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon yang mengubah masa jabatan pimpinan KPK dari 4 (empat) tahun menjadi 5 (lima) tahun, dikhawatirkan akan memantik permohonan lain di kemudian hari terhadap adanya perbedaan masa jabatan pimpinan di beberapa lembaga atau komisi negara. Dalam kondisi demikian, Mahkamah akan masuk ke wilayah yang selama ini merupakan kewenangan pembentuk undang-undang," ujarnya.
Baca halaman selanjutnya soal jubir MK sebut putusan perpanjangan jabatan berlaku untuk pimpinan KPK saat ini>>
Simak Video: Mahfud Belum Mau Tanggapi Putusan MK soal Masa Jabatan Pimpinan KPK
Juru bicara MK Fajar Laksono menjelaskan tentang berlakunya putusan MK atas gugatan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron terkait perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK menjadi 5 tahun. MK menegaskan putusan ini berlaku mulai dari pimpinan KPK saat ini.
Fajar menjelaskan pertimbangan mengenai keberlakuan Putusan 112/PUU-XX/2022 bagi Pimpinan KPK saat ini, ada dalam Pertimbangan Paragraf [3.17] halaman 117.
"Dengan mempertimbangkan masa jabatan pimpinan KPK saat ini yang akan berakhir pada 20 Desember 2023 yang tinggal kurang lebih 6 (enam) bulan lagi, maka tanpa bermaksud menilai kasus konkret, penting bagi Mahkamah untuk segera memutus perkara a quo untuk memberikan kepastian hukum dan kemanfaatan yang berkeadilan. MK menyegerakan memutus perkara ini agar Putusan memberikan kepastian dan kemanfaatan berkeadilan bagi Pemohon khususnya dan keseluruhan Pimpinan KPK saat ini," katanya.
Karena itu, Fajar menegaskan putusan MK terkait perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK berlaku mulai era Firli cs saat ini. Dia mengatakan masa jabatan Firli cs diperpanjang hingga 2024.
"Pimpinan KPK yang saat ini menjabat dengan masa jabatan 4 tahun, dan akan berakhir pada Desember 2023 diperpanjang masa jabatannya selama 1 tahun ke depan hingga genap menjadi 5 tahun masa jabatannya sesuai dengan Putusan MK ini," tegasnya.
Putusan ini, katanya, tidak hanya berlaku untuk pimpinan KPK saja. Tetapi juga untuk Dewan Pengawas (Dewas) KPK.
"Menurut Putusan 112/PUU-XX/2022, perubahan masa jabatan menjadi 5 tahun juga berlaku bagi Dewan Pengawas KPK yang saat ini menjabat dari semula masa jabatannya 4 tahun," jelas Fajar.