Kasus bermula saat ada karhutla di Barito Kuala pada September 2019. Petugas Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) lalu mengusut dan menuntut PT BAS bertanggung jawab. Berikut tuntutan KLHK ke PT BAS dan dikabulkan PN Jakpus pada 28 Desember 2022. PT BAS diwajibkan membayar ganti rugi secara tunai ke rekening kas negara:
1. Ganti rugi materiil Rp 160,6 miliar.
2. Biaya pemulihan fungsi lingkungan hidup sebesar Rp 336 miliar
3. Biaya untuk mengaktifkan fungsi ekologis yang hilang sebesar Rp 13,9 miliar
4. Biaya pembangunan/perbaikan hidrologi system di lahan gambut sebesar Rp 18 miliar.
5. Biaya revegetasi sebesar Rp 30 miliar.
6. Biaya pelaksanaan pengawasan pemulihan lingkungan hidup sebesar Rp 2,9 miliar.
Total Rp 561,4 miliar.
Atas vonis itu, PT BAS tidak terima dan mengajukan banding. Apa kata PT Jakarta?
"Menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima," demikian bunyi putusan PT Jakarta yang dilansir website-nya, Rabu (3/5/2023).
Duduk sebagai ketua majelis Berlin Damanik dengan anggota Sirande Palayukan dan Chrisno Rampalodji. Berikut alasan majelis mengabulkan banding PT BAS:
Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Undang-Undang Lingkungan Hidup tersebut maka secara imperatif diatur dengan jelas bahwa gugatan ganti rugi akibat rusaknya lingkungan haruslah ditempuh lebih dahulu di luar pengadilan dan apabila tidak berhasil barulah ditempuh melalui pengadilan (proses Litigasi).
Menimbang, bahwa hal tersebut adalah merupakan aturan yang tidak boleh disimpangi, hal mana sesuai dengan keterangan saksi ahli dari Tergugat yaitu Prof, Dr. Waty Suwarty Hartono, SH.,MH., guru besar Hukum Lingkungan yang menyatakan bahwa Undang-Undang Lingkungan Hidup nomor 32 tahun 2009, tentang penyelesaian Lingkungan Hidup dalam Pasal 84 ayat(3) secara tegas menyatakan penyelesaian masalah lingkungan hidup dapat diselesaikan di luar Pengadilan ( mediasi) terlebih dahulu baru ke pengadilan.
Apabila tidak pernah melakukan mediasi terlebih dahulu dan langsung membawa ke Pengadilan, maka tindakan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang karena mengacu kepada Undang-Undang harusnya mediasi dan atau kesepakatan-kesepakatan dilakukan terlebih dahulu baru melalui jalur litigasi.
Bahwa bunyi ketentuan Pasal 84 ayat (3) tersebut sudah jelas dan tidak perlu di interpretasikan lain dan bunyi Undang-Undang lebih tinggi dari Putusan Mahkamah Agung.
Menimbang, bahwa Pengadilan Tinggi telah melihat dan mencermati bukti-bukti dari Penggugat yaitu bukti P1 s.d bukti P 92 demikian juga dengan dalil-dalil Penggugat tidak menemukan adanya bukti-bukti maupun dalil-dalil Penggugat yang dapat membuktikan bahwa Penyelesaian sengketa Lingkungan Hidup a quo sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup telah dilakukan terlebih dahulu penyelesaiannya melalui Mediasi ( penyelesaian di luar Pengadilan ) oleh para pihak yang bersengketa.
Maka Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa Eksepsi Tergugat yang menyatakan bahwa gugatan penyelesaian sengketa lingkungan hidup tentang ganti rugi terhadap Tergugat yang didalilkan Penggugat adalah masih Prematur yang seharusnya terlebih dahulu harus diselesaikan terlebih dahulu secara Mediasi (non litigasi) dan apabila tidak berhasil baru melalui penyelesaian litigasi yaitu melalui Pengadilan.
Menimbang, bahwa atas pertimbangan di atas, maka Eksepsi Tergugat tersebut adalah beralasan dan dapat dikabulkan. (asp/mae)