Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) memutuskan akan kembali mengusut kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) Rp 189 triliun. Komite TPPU juga memutuskan membuat Satgas untuk mensupervisi kasus transaksi mencurigakan dengan nilai agregat Rp 349 triliun.
"Untuk laporan hasil pemeriksaan (LHP) dengan nilai transaksi agregat Rp 189 triliun lebih yang disampaikan Menko Polhukam di Komisi III DPR tanggal 29 Maret 2023, dan dijelaskan pula oleh Menteri Keuangan di Komisi XI DPR tanggal 27 Maret 2023, pengungkapan dugaan tindak pidana asal dan TPPU sudah dilakukan langkah hukum terhadap TPA, dan telah menghasilkan putusan pengadilan hingga PK, namun komite memutuskan untuk melakukan tindak lanjut, termasuk hal-hal yang selama ini belum masuk ke dalam proses hukum atau case building oleh Kementerian Keuangan," ujar Mahfud saat konferensi pers di PPATK, Jakarta Pusat, Senin (10/4/2023).
Kemudian, Mahfud juga menyampaikan pihaknya akan membentuk Satgas yang melibatkan PPATK, Ditjen Pajak, Ditjen Bea dan Cukai, Bareskrim Polri, Pidsus Kejagung, Bidang Pengawasan OJK, BIN, serta Kemenko Polhukam. Satgas akan mengusut kasus ini dengan membangun kerangka kasusnya dari awal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Komite akan segera membentuk Tim Gabungan/Satgas yang akan melakukan supervisi untuk menindaklanjuti keseluruhan LHA/LHP nilai agregat sebesar Rp 349.874.187.502.987 dengan melakukan case building (membangun kasus dari awal). Komite akan melakukan case building dengan memprioritaskan LHP yang bernilai paling besar karena telah menjadi perhatian masyarakat, dimulai dengan LHP senilai agregat Rp 189.273.872.395.172," jelasnya.
Tentang Transaksi Rp 189 Triliun
Diketahui, Mahfud pernah menyampaikan transaksi janggal Rp 189 triliun ketika rapat bersama Komisi III DPR. Mahfud menyebut ada kekeliruan dari penjelasan Sri Mulyani tentang Rp 189 triliun. Kekeliruan itu disebut Mahfud bukanlah salah dari Sri Mulyani, tapi terkait ditutupnya akses dari bawah.
"Bahwa ada kekeliruan pemahaman Ibu Sri Mulyani dan penjelasan Ibu Sri Mulyani karena ditutupnya akses dari bawah sehingga apa yang beliau jelaskan tadi itu adalah data yang diterima tanggal 14 ketika bertemu dengan Pak Ivan sehingga disebut yang terakhir itu... yang semula ketika ditanya oleh Ibu Sri Mulyani itu, 'Ini apa kok ada uang Rp 189?' Itu pejabat tingginya yang eselon I, oh ndak ada Bu, nggak pernah ada," ucap Mahfud saat itu.
Mahfud mengatakan transaksi Rp 189 triliun itu terdapat dalam 1 surat dengan 15 entitas yang sebenarnya berkaitan dengan cukai impor emas batangan. Namun menurut Mahfud, hal itu diakali sebagai emas mentah.
"Baru dia oh ya nanti dicari dan itu nyangkut uang yang 189 dan itu adalah dugaan pencucian uang cukai dengan 15 entitas, tapi apa laporannya? Menjadi pajak padahal ini cukai laporannya, apa itu? Emas, impor emas batangan yang mahal-mahal itu tapi di dalam surat cukainya itu dibilang emas mentah, diperiksa oleh PPATK. Kamu kan emasnya emas sudah jadi, kok bilang emas mentah. Ini emas mentah tapi dicetak di Surabaya, dicari di Surabaya nggak ada itu pabriknya," ucap Mahfud.
Transaksi ini lalu dilaporkan PPATK kepada Kemenkeu sebagai penyelidik tindak pidana asal di bidang kepabeanan bea cukai dan pajak tersebut. Laporan disampaikan pertama pada 2017.
"Surat yang asli semula itu dikirimkan by hand yang ditandatangani orang pajak, yang menyerahkan. Di sini kasus mengenai tadi, Rp 189 triliun. Ini tidak bisa diserahkan dengan surat karena sangat sensitif. Oleh sebab itu diserahkan by hand. Bertanggal 13 November 2017," kata Mahfud.
"Ini yang menyerahkan, Bapak Badaruddin (eks Kepala PPATK), Bapak Dian Ediana (eks Wakil Kepala PPATK), kemudian Heru Pambudi dari Bea Cukai, Dirjen Bea Cukai. Lalu Sumiati Irjennya. Kemudian Rahman dari Irjen, Widiarto Bea Cukai, ini ada tandatangannya semuanya ini bahwa tahun 2017 kasus ini masuk," imbuh Mahfud.
Mahfud menyebut tidak ada tindak lanjut mengenai itu hingga tahun 2020 PPATK mengirimkan surat baru tapi tetap belum terselesaikan. Sampai akhirnya, menurut Mahfud, dilakukan pertemuan dengan Kemenkeu. Mahfud sebelumnya menyebut dalam pertemuan itu dihadiri Menkeu Sri Mulyani dan juga pejabat eselon 1 Kemenkeu. Namun Mahfud meralat bila pertemuan itu disebutnya dihadiri Wakil Menteri Keuangan dan eselon 1 Kemenkeu yakni Irjen tapi tidak disebutkan kapan pertemuan itu.
Namun, keterangan Mahfud ini sempat dibantah oleh Wamenkeu Suahasil Nazara menegaskan pihaknya tidak menutup-nutupi dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebesar Rp 189 triliun terkait emas batangan. Nilai itu merupakan bagian dari transaksi janggal Rp 349 triliun yang sedang heboh.
Suahasil mengatakan pada Januari 2016 Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) mencegah ekspor logam mulia. Pasalnya ekspor itu dikatakan berbentuk perhiasan, padahal isinya adalah emas batangan (ingot).
"Itu disetop oleh BC. Maka kemudian didalami dan dilihat bahwa ini ada potensi tindak pidana kepabeanan," kata Suahasil dalam media briefing di Kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, Jumat (31/3/2023).
Bea cukai disebut telah menindaklanjuti dengan penelitian, penyidikan, bahkan sampai ke pengadilan terkait tindak pidana kepabeanan pada 2017-2019. Sayangnya hasil pengadilan negeri menyatakan bea cukai kalah.
"Di pengadilan negeri BC kalah, lalu BC kasasi, di kasasi BC menang. Lalu 2019 dilakukan penelitian kembali atas permintaan terlapor. Di peninjauan kembali BC kalah lagi. Jadi dianggap tidak terbukti tindak pidana kepabeanannya di peninjauan kembali terakhir," ucapnya.
Suahasil menjelaskan bahwa TPPU selalu berkaitan dengan tindak pidana asal (TPA). Ketika TPA tidak terbukti oleh pengadilan, TPPU tidak maju.
Simak juga 'Beda Penjelasan Mahfud dan Srimul soal Data Transaksi Janggal Rp 349 T':