Pembina Dharma Wanita Persatuan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) Lilik Umi Nashriyah mengatakan eco enzyme memanfaatkan sampah rumah tangga, sehingga turut menjaga kelestarian bumi. Hal ini disampaikannya dalam acara Sosialisasi dan Edukasi Eco Enzyme di Balai Besar Pelatihan dan Pengembangan Masyarakat Desa, Jakarta, hari ini.
Diketahui, kegiatan tersebut diikuti 50 peserta, yang terdiri dari 30 peserta perwakilan unit kerja Kemendesa PDTT. Selain itu juga ada 20 pengurus maupun anggota Dharma Wanita Persatuan Kemendesa PDTT.
"Saya berharap ibu-ibu menjadi pegiat eco enzyme. Yang penting adalah menata niat, agar kegiatan ini bernilai ibadah, karena ini menjaga bumi, dan mencintai bumi. Sebagai khalifah di bumi, sudah menjadi kewajiban kita menjaga bumi demi anak cucu kita," ujar Lilik dalam keterangan tertulis, Selasa (21/3/2023).
"Saya sendiri sudah mempraktekkan sebelum pelatihan ini. Saya merendam kaki dengan air hangat yang diberi eco enzyme, ternyata menjadi detoks racun yang ada di dalam tubuh," imbuhnya.
Selain itu, nasumber yang berasal dari Lembaga Eco Enzyme Nusantara, Ketut Budiyanto menjelaskan eco enzyme adalah cairan alami serba guna. Ini berasal dari fermentasi gula, sisa buah dan sayuran, serta air.
Ia melanjutkan penemunya adalah Rosukon Poompanvong, pendiri asosiasi pertanian organik Thailand pada dekade 1980-an. Temuan ini disebarluaskan Joean Oon, seorang peneliti naturopathy dari Penang, Malaysia.
Ketut menambahkan cara membuatnya dimulai dengan menyiapkan air dalam wadah plastik yang memiliki tutup lebar. Selanjutnya, masukkan gula atau molase dan bahan organik. Kemudian ditutup rapat sampai tiga bulan.
"Jangan menggunakan wadah logam karena mudah berkarat. Wadah kaca tidak disarankan, karena mudah pecah. Mulut wadah yang kecil berbahaya, karena fermentasi menghasilkan gas yang rentan meledak," pesan Ketut.
Ia melanjutkan air yang bisa digunakan meliputi air sumur, air buangan AC, air galon atau isi ulang. Air hujan sebaiknya yang langsung dari langit, bukan yang menetes dari atap rumah.
Dikatakan Ketut, Air hujan maupun air PAM perlu diendapkan dulu selama 24 jam. Hal itu dilakukan agar kaporit dan kotoran mengendap, lalu bisa dipisahkan dari air yang bersih.
"Jangan menggunakan gula pasir melainkan gula merah, gula aren, gula kelapa, gula lontar, atau molase," papar Ketut.
Ia pun menuturkan semua sisa sayuran dan buah dapat menjadi penyusun eco enzyme, kecuali yang sudah direbus, digoreng, atau ditumis. Ketut berpesan jangan menggunakan sayuran dan buah yang busuk, berminyak seperti kelapa dan ampasnya, atau kering dan keras seperti kayu.
Nantinya, setelah 90 hari eco enzyme bisa dipanen. Cara untuk memanennya adalah menyaring cairan eco enzyme dan dipisahkan dari ampasnya. Kemudian disimpan di wadah tertutup rapat.
Selanjutnya eco enzyme siap digunakan untuk kehidupan sehari-hari. Bisa untuk menjaga kesehatan tubuh, membersihkan pencemaran air dan tanah, serta untuk menyuburkan lahan pertanian.
(fhs/ega)