Lagi pula, lanjut Ade, restorative justice hanya bisa dilakukan jika ada pemberian maaf dari keluarga korban. Jika tidak ada, alternatif penyelesaian perkara tersebut tidak bisa diterapkan.
"Restorative justice hanya dapat dilaksanakan apabila ada pemberian maaf oleh korban atau keluarga. Jika tidak ada, otomatis tidak ada upaya restorative justice dalam tahap penuntutan," ujar Ade.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, terkait pernyataan Kajati DKI Jakarta Reda Manthovani yang menawarkan penerapan diversi terhadap Anak AG yang berkonflik dengan hukum, Ade menjelaskan hal itu semata-mata mempertimbangkan masa depan anak sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak. Sebab, lanjut dia, Anak AG tidak secara langsung melakukan kekerasan terhadap korban.
Sebagai informasi, diversi merupakan pengalihan penyelesaian perkara pidana anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
"Statement Kajati DKI Jakarta memberikan peluang untuk menawarkan memberikan diversi kepada Anak AG yang berkonflik dengan hukum semata-mata hanya mempertimbangkan masa depan anak sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak, oleh karena perbuatan yang bersangkutan tidak secara langsung melakukan kekerasan terhadap korban. Namun, apabila korban dan keluarga tidak memberikan upaya damai khusus terhadap pelaku Anak AG yang berkonflik dengan hukum, upaya restorative justice tidak akan dilakukan," tutur Ade.
Ade juga menjelaskan alasan Kajati DKI dan tim jaksa penuntut umum menjenguk David di rumah sakit semata-mata sebagai ungkapan rasa empati. Juga sekaligus untuk memastikan perbuatan para terdakwa layak diberi hukuman yang berat.
"Kehadiran Kajati DKI Jakarta dan tim penuntut umum di rumah sakit semata-mata ungkapan rasa empati sebagai penegak hukum sekaligus memastikan bahwa perbuatan para terdakwa sangat layak untuk diberi hukuman yang berat," katanya.
(wnv/mea)