Polemik Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2 Tahun 2022 soal Penegakan Kedaulatan Negara yang tidak mencantumkan nama Presiden RI Kedua Soeharto dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 terus bergulir. Mantan KSAD Jenderal (Purn) Tyasno Sudarto dan Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia Dr. Sumardiansyah Halim Perdana Kusumah meminta agar Keppres tersebut direvisi atau diuji materi ke Mahkamah Agung (MA).
"Saya menyarankan agar Keppres ini direvisi. Kalau ada waktu saya bersedia untuk menjelaskan hal ini kepada pihak Istana," kata Tyasno kepada para wartawan usai berbicara dalam seminar "Kemusuk Bersimbah Darah dan Letkol Soeharto", Kamis (16/3/2023). Seminar yang diprakarsai Yayasan Kajian Citra Bangsa itu digelar di Museum Purna Bhakti Pertiwi, TMII.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dasar revisi, Tyasno melanjutkan, tak dicantumkannya nama Soeharto sebagai tokoh kunci Serangan Umum. Tokoh lain yang berperan dalam peristiwa itu adalah Sri Sultan HB IX sebagai inisiatior dan Jenderal Sudirman sebagai Panglima tentara yang tengah memimpin gerilya.
"Rencana serangan 1 Maret itu dibahas di Keraton antara Sri Sultan HB IX dan Pak Harto. Tapi kenapa kok di dalam Keppres tersebut peran Pak Harto justru tidak ada. Padahal Bung Karno dan Bung Hatta yang tengah ditahan justru disebut," kata Tyasno.
![]() |
Tyasno juga mengkritik kalimat pada butir a bagian Menimbang dalam Keppres yang berbunyi, "bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 adalah negara yang merdeka dan berdaulat...". Menurut dia, yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945 Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia yang disampaikan Sukarno - Hatta sebagai wakil Banga Indonesia.
"Lahirnya NKRI itu 18 Agustus 1945, kalau 17 Agustus itu Proklamasi Kemerdekaan. Ingat itu," ujarnya. Ia mengaku menyampaikan ini bukan dalam arti ingin menyalahkan, tapi sekedar mengingatkan.
Sumardiansah sependapat dengan Tyasno. Dia menyebut Keppres ini seolah mengkonfirmasi kesan terjadinya desoehartoisasi sejak memasuki era reformasi. Hal ini seperti pengulangan sejarah terhadap apa yang dilakukan semasa Orde Baru berkuasa selama 32 tahun, yakni terjadinya desukarnoisasi. "Ini memprihatinkan," tegasnya.
Dia menambahkan, tokoh sentral lain terkait Serangan Umum 1 Maret adalah Bambang Sugeng dan AH Nasution. Tapi Presiden Sukarno dan Wakil Presiden M. Hatta tidak termasuk karena sedang dalam tahanan Belanda di Menumbing.
Sumardiansah membandingkan Keppres Penegakan Kedaulatan Negara dengan Keppres Nomor 28 Tahun 2006 tentang Bela Negara. Di Keppres tersebut hanya disebut peristiwanya tanpa menyebut para tokoh sebagai aktornya. Di Keppres Kedaulatan Negara tokohnya disebut dengan rinci tapi tokoh kunci justru tak disebut.
"Jadi Keppres tersebut harus dilakukan uji materi di MA sebagai lembagha tinggi negara yang bisa menganulir produk hukum presiden," ujarnya.
(jat/rdp)