MA Kukuhkan Aturan Profesor Kehormatan Harus dari Kampus Akreditasi A

MA Kukuhkan Aturan Profesor Kehormatan Harus dari Kampus Akreditasi A

Andi Saputra - detikNews
Rabu, 15 Mar 2023 11:20 WIB
Hakim tinggi Lilik Mulyadi
Lilik Mulyadi (Ari Saputra/detikcom)
Jakarta -

Hakim tinggi Lilik Mulyadi yang juga dosen di Universitas Jayabaya, Jakarta itu menggugat Permendikbud yang mengatur syarat profesor kehormatan harus dari kampus terakreditasi A ke Mahkamah Agung (MA). Namun MA tidak menerima gugatan itu.

Hal itu tertuang dalam putusan judicial review yang dilansir website MA, Rabu (15/3/2023). Lilik menggugat bersama seorang mahasiswa, Maria Caludia Sitompul. Salah satu alasannya, Lilik tidak bisa mendapatkan gelar profesor karena kampus Fakultas Hukum Universitas Jayabaya terakreditasi B. Berikut permohonan Lilik di antaranya:

1. Menyatakan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan Riset, dan Teknologi Nomor 38 Tahun 2021 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan pada Perguruan Tinggi, bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana diubah dengan Undang - Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, sepanjang frasa Pasal 2 ayat (1) bahwa "Setiap orang yang memiliki kompetensi dan/atau prestasi luar biasa dapat diangkat oleh Menteri sebagai Profesor Kehormatan pada Perguruan Tinggi atas usul pemimpin Perguruan Tinggi," tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak ditafsirkan sebagai "Setiap orang yang memiliki kompetensi dan/atau prestasi luar biasa dapat diangkat sebagai Profesor Kehormatan pada Perguruan Tinggi. Menyatakan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan Riset, dan Teknologi Nomor 38 Tahun 2021 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan pada Perguruan Tinggi, bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, sepanjang frasa Pasal 2 ayat (2) bahwa "Pengangkatan oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pemimpin Perguruan Tinggi yang bersangkutan," tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak ditafsirkan sebagai "Pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pimpinan Perguruan Tinggi yang bersangkutan dan selanjutnya dilaporkan kepada Menteri".

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

2. Menyatakan Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan Riset, dan Teknologi Nomor 38 Tahun 2021 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan pada Perguruan Tinggi, bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, sepanjang frasa Pasal 2 ayat (3) bahwa "Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki kriteria:

a) memiliki peringkat akreditasi A atau unggul; dan

ADVERTISEMENT

b) menyelenggarakan program studi program doktor atau doktor terapan sesuai bidang kepakaran calon Profesor Kehormatan dengan peringkat akreditasi A atau unggul," tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak ditafsirkan sebagai:

"Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki kriteria:

a) memiliki peringkat akreditasi B; atau

b) menyelenggarakan program studi program doktor atau doktor terapan sesuai bidang kepakaran calon Profesor Kehormatan".

Berikut beberapa alasan Lilik menggugat aturan itu:

Perguruan tinggi dan para calon Profesor Kehormatan pada umumnya mempunyai tugas dan jabatan di luar perguruan tinggi (non-akademik), sehingga mereka memiliki pengetahuan tacit (tacit knowledge) sesuai dengan profesi dan keahliannya. Umur pensiun para pejabat ataupun pejabat negara maupun professional lainnya bervariasi, yaitu 56 tahun, 58 tahun, 60 tahun, 65 tahun, 67 tahun dan 70 tahun.

Setelah pensiun yang bersangkutan siap berkonsentrasi menyumbangkan "tacit knowledge" yang dimiliki melalui pengangkatannya sebagai Profesor Kehormatan. Bahkan seorang pensiunan pejabat negara atau pensiunan professional berusia 70 tahun atau lebih juga dapat diangkat sebagai Profesor Kehormatan sebagaimana pengangkatan Profesor Emeritus dengan standar Kesehatan yang sama berpedoman pada surat keterangan dokter untuk menunjukkan masih ada kemampuan untuk mengajar.

Mengangkat seorang Profesor Kehormatan bukanlah sekedar kebanggaan bagi Profesor yang bersangkutan maupun Universitas atau Perguruan Tinggi yang mempromosikan. Idealnya adalah Profesor yang diangkat benar-benar akan mengembangkan Ilmu Tacit yang dimiliki untuk membangun dunia pendidikan tinggi dalam menyelenggarakan Tridarma Perguruan Tinggi.

Bagi Profesor Kehormatan yang diangkat masih berstatus aktif di luar Perguruan Tinggi dan dapat membagi waktu dan perhatiannya kepada tugas mendidik adalah sesuatu yang sulit dilakukan dengan hasil maksimal. Merupakan hal yang lebih menjanjikan apabila calon Profesor yang bersangkutan telah selesai melaksanakan tugas profesinya (pensiun). Oleh karena itu pembatasan umur maksimum untuk diangkat sebagai Profesor Kehormatan 67 tahun akan merugikan pihak-pihak yang akan mendedikasikan ilmu tacit-nya setelah pensiun di atas usia 67 tahun.

Pasal 2 Permendikbudristek Nomor 38 Tahun 2021 juga bertentangan dengan "prinsip otonomi perguruan tinggi". Bahwa sejalan dengan prinsip otonomi perguruan tinggi, maka pihak perguruan tinggi yang seharusnya menilai usulan pemberian gelar kehormatan kepada seorang tokoh atau ilmuwan berdasarkan pertimbangan prestasi dari pihak penerima gelar kehormatan.

Pihak perguruan tinggi itu yang menilai kebutuhan apa dan jenis "tacit knowledge" mana yang dibutuhkan untuk pengembangan akademik di perguruan tinggi tersebut sebagaimana diamatkan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), bahwa:

"Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."

Bahwa pengangkatan Profesor Kehormatan oleh perguruan tinggi sebagai manifestasi otonomi dunia pendidikan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 24 ayat (1) UU Sisdiknas, yaitu bahwa:

"Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan."

Bahwa UNESCO Declaration for the Twenty First-Century menyatakan bahwa perguruan tinggi harus memiliki sebuah sistem yang diuraikan sebagai berikut: mahasiswa berhak untuk belajar, dosen berhak untuk mengajar sesuai dengan minat masing-masing. Hak untuk menentukan prioritas dan melakukan kajian ilmiah tanpa batas apapun kecuali oleh norma dan kepentingan masyarakat, Perguruan tinggi harus toleran atas pendapat yang berbeda dan bebas dari intervensi politik. Sebagai institusi publik melalui Pendidikan dan penelitian, perguruan tinggi harus menegakkan kebebasan dan keadilan, penelitian, perguruan tinggi harus menegakkan kebabasan dan keadilan, solidaritas, dan kemanusiaan, serta saling membantu baik secara moral maupun material baik dalam skala nasional. Sistem ini hanya akan terwujud dalam suatu Pendidikan tinggi apabila otonomi non-akademik dari Pendidikan tinggi tersebut bebas dari pengaruh politik.

Dapat dipastikan hanya sedikit Perguruan Tinggi dan Program S3 yang mempunyai akreditasi yang disyaratkan. Persyaratan penyelenggaraan Program S3 diletakkan pada jumlah guru besar yang dimiliki oleh perguruan tinggi penyelenggara tersebut.

Tapi apa kata MA?

"Menyatakan permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dari Pemohon tidak diterima. Menghukum Para Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 1.000.000," demikian bunyi amar MA yang diketok oleh ketua majelis Yulius dengan anggota Yodi Martono dan Is Sudaryono.

Berikut alasan MA tidak menerima judicial review itu:

Pemohon I dapat menempuh jalur sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 17 Tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan Angka Kreditnya, Juncto Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 46 Tahun 2013, dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 92 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Penilaian Angka Kredit Jabatan Fungsional Dosen:

Bahwa Objek HUM mengatur jabatan Profesor Kehormatan untuk seseorang yang berasal dari non-akademik, sedangkan berdasarkan pertimbangan di atas, Pemohon I adalah dosen tidak tetap yang dapat memperoleh jabatan profesor melalui jalur akademik sehingga apa yang diatur dalam Objek HUM tidak menimbulkan kerugian terhadap Pemohon 1;

Bahwa, meskipun Pemohon I mencantumkan profesi non-akademiknya yaitu Hakim, namun tidak tertutup kemungkinan baginya untuk menempuh jalur karir akademik sebagai dosen tidak tetap untuk mendapatkan jabatan profesor.

Simak juga 'Jokowi Ingin Sinergitas KY-MA Diperkuat: Jaga Martabat Hakim':

[Gambas:Video 20detik]



(asp/isa)



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads