Demi mendapatkan wanita idaman, kerap dijumpai lelaki melakukan berbagai cara. Salah satunya mengaku masih lajang. Tapi bagaimana bila ternyata sudah punya istri?
Hal itu menjadi pertanyaan pembaca. Berikut pertanyaan lengkapnya:
Saya mau tanya untuk pemalsuan status pernikahan apa bisa dijerat hukum?
Saya menemukan akta nikah suamiku dengan istri pertama.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terima kasih
Untuk menjawab pertanyaan pembaca di atas, berikut pendapat Penyuluh Hukum Ahli Madya Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kemenkumham, Dra. Tuti Nurhayati, M.H. Pembaca juga bisa melakukan konsultasi online ke BPHN di https://lsc.bphn.go.id/konsultasi. Berikut jawaban lengkapnya:
Mencermati pertanyaan Saudara, dapat disimpulkan bahwa pemalsuan status pernikahan apa bisa dijerat hukum?
Salah satu unsur dari syarat sahnya suatu perkawinan menurut Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah pencatatan perkawinan. Pencatatan perkawinan merupakan suatu keharusan, karena merupakan akte resmi yang dapat dipergunakan sebagai bukti otentik tentang adanya perkawinan. Pencatatan perkawinan dituangkan dalam akta perkawinan yang dikeluarkan oleh pegawai pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku. Salah satu unsur yang paling utama di dalam akta perkawinan adalah identitas yang meliputi status perkawinan dari para pihak yang ingin melaksanakan perkawinan tersebut. Status perkawinan memiliki akibat hukum bagi para pihak yang terikat dalam suatu perkawinan tersebut.
Oleh karena itu perlu diperhatikan bahwa dalam pemberian identitas berupa status perkawinan bagi para pihak yang ingin melaksanakan perkawinan tersebut harus dilakukan dengan benar dan sejujur-jujurnya agar tidak terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri sehingga tidak menimbulkan suatu masalah di kemudian hari yang berujung pada sengketa di Pengadilan.
Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan bathin antara pria dengan seorang Wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Adanya UU nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menandakan terciptanya kepastian hukum dalam bidang perkawinan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Namun dalam kenyataannya hubungan perkawinan ini tidak selamanya berjalan dengan baik, sesuai dengan rencana pembuat undang-undang, yaitu membentuk keluarga Bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai contoh terjadinya proses perkawinan dengan adanya pemalsuan identitas dari salah satu pihak calon pengantin. Hal ini apabila istri merasa keberatan atau merasa tertipu , istri bisa melakukan penuntutan untuk meminta pembatalan perkawinan kepada pengadilan.
Akibat hukum dari pembatalan perkawinan yang telah diputuskan dan oleh Pengadilan yaitu:
a. Akibat hukum terhadap kedudukan anak yaitu status anak yang dilahirkan tetap mempunyai status hukum sebagai anak sah atau anak kandung mereka.
b. Akibat hukum terhadap harta perkawinan yaitu harta bersama dalam pembatalan perkawinan ini tidak dikenal, karena harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan, sedangkan dalam pembatalan perkawinan hal tersebut dianggap tidak pernah ada, sehingga dengan sendirinya semua kembali kepada pemilik asal atau sumber diperolehnya harta.
c. Akibat hukum terhadap pihak ketiga adalah tidak berlaku surut terhadapnya. Apabila sebelum terjadi pembatalan perkawinan pihak suami isteri melakukan perbuatan hukum terhadap pihak ketiga, maka pertanggungjawaban hukum masih tetap melekat, meskipun perkawinan tersebut dibatalkan.
Dengan demikian Perbuatan memalsukan identitas nikah yang Saudara tanyakan menjadikan pembatalan perkawinan.
PIDANA
Pemalsuan asal-usul suatu pernikahan merupakan perbuatan pidana. Pasal 280 KUHP berbunyi:
Barangsiapa melangsungkan perkawinan dan dengan sengaja tidak memberitahukan kepada pihak lain bahwa ada penghalang yang sah baginya untuk melangsungkan perkawinan itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun, bila kemudian perkawinan itu dinyatakan tidak sah berdasarkan penghalang tersebut.
Demikian jawaban kami semoga bisa memberi pemahaman hukum bagi Saudara.
Penyuluh Hukum Ahli Madya Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kemenkumham
Dra. Tuti Nurhayati, M.H.
Tentang detik's Advocate
detik's Advocate adalah rubrik di detikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembaca detikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh para pakar di bidangnya.
Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), hukum internasional, hukum waris, hukum pajak, perlindungan konsumen dan lain-lain.
Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.
![]() |
Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di email: redaksi@detik.com dan di-cc ke-email: andi.saputra@detik.com
Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.
Simak juga 'Saat Sakit Hati Dituduh Selingkuh, Wanita di Kotamobagu Aniaya 3 Balitanya!':