Sistem marketing dan jual beli mobil banyak ragamnya. Salah satunya yaitu jasa broker dalam alur penjualan mobil. Tapi bagaimana bila ada masalah di broker?
Berikut pertanyaan pembaca yang diterima detik's Advocate. Pembaca detikcom juga bisa mengajukan pertanyaan serupa dan dikirim ke email: redaksi@detik.com dan di-cc ke andi.saputra@detik.com
Yth. Detik's Advocates
Perkenalkan saya nama Suryo Saputro alamat di Klaten.
Mengalami kejadian membeli sebuah mobil second, diinformasikan oleh seseorang yang mengaku pak Asep diberikan alamat untuk melihat mobil yang diaku sedang dibawa adiknya.
Setelah bertemu dengan sang adik yang ternyata pemilik mobil sendiri STNK sesuai KTP maka saya menanyakan identitas pak Asep itu siapa kerja dan alamat di mana. Apakah benar kakaknya dijawab lisan obrolan saudara jauh tinggal di Salatiga, maka saya lanjutkan tanya harga untuk menawar dan diarahkan komunikasi dengan Pak Asep. Dan saya akan membayar tunai ke pemilik, juga di arahkan ke Pak Asep, dan minta transfer saja dan diberikan no rekening yang katanya istrinya Pak Asep.
Setelah pembayaran tranfer selesai saya diberikan BPKB dan manual book, memfoto KTP pemilik dan sedang disiapkan kuitansi sambil membereskan barang-barang pribadi dalam mobil.
Namun berjalannya waktu pemilik kesulitan menghubungi Pak Asep, dan baru terbuka mengaku kalo pak Asep itu makelar/Broker. Setelah membuat laporan polisi saya hanya boleh membawa BPKB saja.
Yang menjadi pertanyaan saya apakah jual beli tersebut sah menurut hukum ? Dan sampai saat ini belum ada itikad baik penjual. Apa yang harus saya lakukan untuk mendapatkan hak saya.
Berikut kami kirimkan data-data pendukung kejadian dimaksud.
Atas bantuan dan informasinya kami ucapkan terimakasih.
Untuk menjawab pertanyaan pembaca detik's Advocate di atas, kami meminta pendapat advokat Yudhi Ongkowijaya, S.H., M.H. Berikut penjelasan lengkapnya:
Terima kasih atas pertanyaan yang Saudara sampaikan. Kami turut prihatin dengan kejadian yang Saudara alami. Untuk itu, kami akan coba bantu menjawabnya.
Langkah Saudara dalam membuat Laporan Polisi sehubungan dengan peristiwa yang terjadi sudahlah tepat, namun kami kurang mendapat gambaran yang jelas terkait Laporan Polisi tersebut, yaitu mengenai pasal apa yang dilaporkan dan siapa pihak yang dilaporkan. Menurut pandangan kami, pasal yang paling relevan untuk dikenakan terkait dugaan tindak pidana dalam masalah ini yaitu Pasal 372 dan/atau Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan :
Pasal 372 KUHP :
"Barang siapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan barang itu ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900,00"
Pasal 378 KUHP :
"Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, baik dengan akal dan tipu muslihat, maupun dengan perkataan-perkataan bohong, membujuk orang supaya memberikan sesuatu barang, membuat utang atau menghapus piutang, dihukum karena penipuan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun"
Sedangkan pihak yang layak untuk dilaporkan karena diduga telah melakukan pelanggaran atas ketentuan Pasal 372 dan/atau Pasal 378 KUHP adalah Saudara Asep (makelar/broker) sebagai terduga utama. Akan tetapi, apabila seandainya Saudara mempunyai bukti yang akurat mengenai keterlibatan si penjual terkait andil/peran sertanya sehingga menimbulkan terjadinya peristiwa dugaan tindak pidana tersebut, maka Saudara dapat pula sekalian melaporkan si penjual atas dugaan turut serta melakukan tindak pidana sebagaimana ketentuan Pasal 55 Ayat (1) KUHP yang menyatakan :
"Dipidana sebagai pelaku tindak pidana mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan"
Dari sudut pandang hukum perdata, perbuatan Saudara dengan si penjual adalah hubungan hukum jual beli sebagaimana ketentuan Pasal 1457 dan Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang menyatakan :
Pasal 1457 KUHPerdata :
"Jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan"
Pasal 1458 KUHPerdata :
"Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelah para pihak mencapai kesepakatan tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaannya belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar"
Oleh karena jual beli adalah suatu perjanjian, maka secara umum tunduk kepada ketentuan yang diatur di dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang menyatakan, perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Selain itu, juga bersandar kepada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan bahwa untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat yakni sepakat, cakap, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal.
Menurut pendapat kami, perbuatan jual beli yang Saudara lakukan dengan si penjual telah memenuhi rumusan Pasal 1457 dan Pasal 1458 KUHPerdata. Selain itu, juga telah memenuhi persyaratan sahnya perjanjian sebagaimana ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Terlepas dari kejadian tertipunya si penjual oleh makelar/broker karena uangnya tidak diberikan atau dibawa lari, perbuatan jual beli antara Saudara dan si penjual adalah sah menurut hukum.
Langkah hukum secara perdata dapat Saudara tempuh guna menuntut hak anda atas barang berupa mobil yang sudah Saudara beli dan telah dibayar lunas namun belum diberikan oleh si penjual, yaitu dengan mengajukan gugatan ke pengadilan.
Sebelumnya Saudara perlu mengumpulkan bukti-bukti terlebih dahulu (sebaiknya jangan bukti lisan) bahwa si penjual-lah yang meyakinkan Saudara agar membayarkan uang pembelian mobil melalui makelar/broker.
Untuk itu, Saudara dapat melakukan teguran melalui Somasi terhadap si penjual yang tidak melaksanakan kewajibannya menyerahkan barang. Apabila tidak diindahkan, maka selanjutnya dapat menempuh upaya hukum dengan mengajukan Gugatan Wanprestasi. Wanprestasi adalah kelalaian / ketidakmampuan debitur dalam memenuhi prestasi. Adapun prestasi dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata yang menyatakan : "Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu". Lebih lanjut, Prof. Subekti, S.H. dalam bukunya Hukum Perjanjian, menjelaskan tentang Wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat macam yaitu :
• Tidak melakukan apa yang disanggupi untuk dilakukannya;
• Melakukan apa yang dijanjikannya, namun tidak sebagaimana yang dijanjikan;
• Melakukan apa yang dijanjikannya, namun terlambat;
• Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Demikian jawaban dari kami, semoga dapat bermanfaat.
Salam.
Yudhi Ongkowijaya, S.H., M.H.
Partner pada Law Office ELMA & Partners
www.lawofficeelma.com
Tentang detik's Advocate
detik's Advocate adalah rubrik di detikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembaca detikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh para pakar di bidangnya.
Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), hukum internasional, hukum waris, hukum pajak, perlindungan konsumen dan lain-lain.
![]() |
Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.
Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di email: redaksi@detik.com dan di-cc ke-email: andi.saputra@detik.com
Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.
Simak juga 'Tertipu Brosur Rumah, Bisakah Pengembang Kita Pidanakan?':