Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menyoroti masalah 39 pejabat Kementerian Keuangan (Kemenkeu) merangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN dan anak usahanya. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) turun tangan menerbitkan peraturan presiden (perpres) yang dapat mengatasi masalah rangkap jabatan itu.
"Aturan soal rangkap jabatan memang masih tumpah tindih dan sumir. Tidak tegas," kata Ketua Umum DPP GMNI, Arjuna Putra Aldino, dalam keterangan pers, Kamis (9/3/2023).
Dia menyoroti masih banyak peraturan turunan seperti UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan PP Nomor 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran BUMN belum mengatur secara eksplisit larangan tentang rangkap jabatan yang dilakukan oleh pejabat publik baik sebagai komisaris ataupun wakil komisaris dalam BUMN.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal, komisaris sebagai pengawas BUMN perlu dipikir serius. Komisaris berfungsi mengawasi. Apabila pejabat komisaris rangkap jabatan, maka eksekusi tugas yang dijalankan menjadi tidak maksimal. Arjuna menyebutnya sebagai dis-kekuasaan dan berpotensi menimbulkan kelalaian.
"Dis-kekuasaan yang seringkali terjadi yaitu tidak maksimalnya partisipasi seseorang yang merangkap jabatan dalam pengambilan keputusan dan rapat-rapat dewan komisaris dan rapat gabungan dengan dewan direksi. Sederhananya, tingkat kehadiran dalam Rapat Dewan Komisaris dan rapat gabungan antara Dewan Komisaris dengan Dewan Direksi sangat rendah," tambah Arjuna.
Rangkap jabatan juga rentan terhadap praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Selain itu, pejabat yang 'double job' juga mendapat dua penghasilan dari negara atau perusahaan negara.
"Potensi konflik kepentingan jika dibiarkan bukan tidak mungkin dapat memunculkan kasus-kasus korupsi. Akuntabilitas menjadi pertaruhan. Selain itu, mereka berpotensi menerima penghasilan ganda," ujar Arjuna.
GMNI juga menilai rangkap jabatan ini tidak sesuai dengan prinsip Good Corporate Governance (GCG) yang menempatkan aspek check and balances tiap pemangku kepentingan pada posisi penting.
"Rangkap jabatan pejabat publik membuat mereka tidak bekerja maksimal sebagai dewan komisaris (dekom) di BUMN," kata Arjuna.
Untuk itu, GMNI meminta pemerintah menerbitkan Perpres yang mengatur dan memperjelas batasan dan kriteria penempatan Pejabat struktural/fungsional aktif dalam Komisaris BUMN dengan pertimbangan kompetensi dan bebas konflik kepentingan.
Kedua, pemerintah segera melakukan evaluasi terhadap kinerja Dewas atau Dekom BUMN yang merangkap jabatan. Ketiga, sinkronisasi aturan terkait standar dan prosedur pengangkatan dewan komisaris sesuai dengan UU Pelayanan Publik.
"Aturan rangkap jabatan perlu ada sinkronisasi aturan terutama harus merujuk pada UU Pelayanan Publik. Toh pada hakikatnya pengelolaan BUMN ditujukan untuk pelayanan publik yang maksimal dan agar BUMN bisa berjalan menjadi korporasi yang sehat," tutup Arjuna.
(dnu/dnu)