Wakil Ketua MPR RI Arsul Sani meraih gelar Doktor Hukum (Doctor of Laws) dengan predikat sangat memuaskan (cum laude) dari Collegium Humanum-Warsaw Management University, Polandia. Sebelum diwisuda, Arsul sempat memulai program doktornya di Department of Law, Glasgow School for Business and Society, GCU-Scotland sebelum terpilih sebagai anggota DPR RI tahun 2014.
Dalam disertasinya yang berjudul 'Re-examining the Considerations of National Security and Human Rights Protection in Counterterrorism Legal Policy: A Case Study on Indonesia Post-Bali Bombings', Arsul mengkritisi sejumlah studi sebelumnya tentang sejarah terorisme di Indonesia. Ia pun menyoroti perbedaan proses hukum dalam kasus-kasus pidana yang memenuhi unsur tindak pidana terorisme.
Kritiknya tentang penulisan sejarah terorisme di Indonesia terkait dengan sejumlah studi yang menyebut awal terorisme dikaitkan dengan pemberontakan DI/TII di Jawa Barat. Padahal perbuatan teror yang kemudian masuk dalam pengertian terorisme telah dimulai menjelang pemberontakan PKI Madiun oleh pengikut atau pendukung PKI, yang kemudian melahirkan pemberontakan PKI Madiun tahun 1948.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Seharusnya sejarah terorisme di Indonesia dicatat dengan perbuatan teror oleh pengikut PKI, baru diikuti oleh pengikut DI/TII yang terjadi setelah pemberontakan PKI Madiun," ungkap Arsul dalam keterangannya, Senin (6/3/2023).
Bahasan kritis kedua yang menjadi objek penelitian Arsul adalah sejumlah kasus hukum di mana terjadi perbedaan perlakuan dan proses hukum atas tindak pidana yang sama-sama memenuhi unsur terorisme.
Dalam beberapa kasus di Aceh pasca perjanjian Helsinki, penegak hukum menerapkan UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Namun dalam kasus-kasus yang sama-sama memenuhi unsur terorisme di Papua, UU Terorisme ini tidak diterapkan dan para pelakunya hanya dikenakan tindak pidana umum dalam KUHP.
Lebih lanjut, Arsul dalam disertasinya juga mengkritisi keragu-raguan pemerintah dan jajaran penegak hukum sampai sekarang untuk mempergunakan UU Terorisme terhadap kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua. Padahal, pemerintah sendiri telah melabeli kelompok ini sebagai kelompok separatis-teroris (KST) sejak pertengahan tahun 2021.