Waket MPR Sebut Nilai Kebinekaan Bisa Ditumbuhkan Lewat Pendidikan

Waket MPR Sebut Nilai Kebinekaan Bisa Ditumbuhkan Lewat Pendidikan

Atta Kharisma - detikNews
Rabu, 01 Mar 2023 22:18 WIB
Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat
Foto: Dok. MPR RI
Jakarta - Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat menegaskan pentingnya membangun kesadaran setiap anak bangsa agar mampu membangun pemahaman bersama terhadap berbagai bentuk perbedaan lewat sejumlah upaya di sektor pendidikan. Menurutnya, alih-alih perbedaan, yang paling penting untuk diimplementasikan adalah persamaan sebagai bangsa Indonesia.

"Dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, alih-alih menonjolkan perbedaan, yang paling penting untuk diimplementasikan adalah persamaan sebagai anak bangsa Indonesia," ujar Lestari dalam keterangannya, Rabu (1/2/2023).

Hal tersebut ia sampaikan dalam diskusi daring bertajuk 'Peran Pendidikan Melawan Intoleransi dan Mengawal Kebhinekaan' yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (1/3). Wanita yang akrab disapa Rerie itu mengungkapkan salah satu wadah untuk membangun kesadaran bersama setiap anak bangsa terkait pemahaman kebinekaan adalah lewat upaya di sektor pendidikan.

Rerie menuturkan selain pengetahuan akademis, pendidikan harus mengajarkan nilai-nilai universal, seperti toleransi, keadilan, dan persamaan. Selain itu, juga harus mencakup pengembangan karakter dan etika agar sektor pendidikan mampu menjadi sarana untuk memperkuat kerukunan serta toleransi antar-agama di Indonesia.

Rerie pun mendorong pendidikan menjadi wadah untuk menanamkan nilai kebangsaan sejak dini bersumber dari konsensus kebangsaan, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.

"Kita bangun kesadaran bersama untuk berbenah, mencegah kasus-kasus intoleransi kembali terjadi," imbuhnya.

Sementara itu, Kepala Bagian Pengolahan Laporan Pengawasan Inspektorat Jenderal Kemendikbudristek RI Julians Andarsa mengatakan intoleransi merupakan hal yang menarik untuk dibicarakan saat ini. Kendati demikian, sedikit yang mengangkat bahasan tersebut.

Bahkan, ungkap Julians, intoleransi tercatat sebagai satu dari tiga dosa besar di lingkungan pendidikan selain perundungan dan kekerasan seksual. Karena itu, ia menilai perlu ada upaya pencegahan agar tidak terjadi tiga dosa besar di lingkungan pendidikan tersebut. Julians pun mengharapkan kolaborasi dari semua pihak untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan dalam keberagaman pada proses pendidikan.

Julians menambahkan ada empat keterampilan yang harus ditanamkan kepada peserta didik saat ini, yaitu kreativitas, komunikasi, berpikir kritis, dan kolaborasi. Menurutnya dengan empat keterampilan tersebut, peserta didik mampu memahami keberagaman yang ada sekaligus membangun sikap toleransi dalam keseharian.

Di sisi lain, Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM Putu Elvina berpendapat membangun toleransi merupakan langkah untuk memperkaya kebinekaan. Putu memaparkan berdasarkan survei BPS pada 2010, tercatat Indonesia terdiri dari enam agama, 1.128 suku dan 633 kelompok suku besar. Karenanya, BPS menilai Indonesia sangat heterogen dari sisi etnis.

Berdasarkan catatan itu, Putu menyebut negara dan masyarakat Indonesia membutuhkan kemampuan yang baik untuk mengelola keberagaman. Sebab bila negara tidak mampu mengelola keberagaman, akan muncul berbagai risiko besar di banyak friksi.

Komnas HAM, sambung Putu, merekomendasikan adanya regulasi dan kurikulum yang konkret dan aplikatif. Selain itu, visi yang baik terkait pendidikan karakter sejak dini dan memperkuat edukasi diseminasi toleransi lewat kolaborasi. Tidak kalah penting, role model di masyarakat dalam proses membangun toleransi di tengah keberagaman.

Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan mengungkapkan benih-benih intoleransi sudah ada sejak di bangku sekolah. Berdasarkan riset Setara terhadap pelajar SMA Negeri pada 2016, tercatat ada 35,7% pelajar terindikasi intoleran aktif dan 2,4% intoleran pasif. Temuan tersebut, ungkapnya, sangat mengkhawatirkan.

Halili pun merekomendasikan Kemendikbudristek melakukan diseminasi mahasiswa dan pelajar lewat revitalisasi forum akademik, memperbanyak ruang perjumpaan, pembudayaan tradisi dan kearifan lokal.

Lalu, membangun sinergi kampus, orang tua dan mahasiswa, mencegah kampus dan sekolah menjadi enabling environment bagi berkembangnya paham dan gerakan keagamaan yang intoleran, eksklusif, ekstrem dan kekerasan, serta mewujudkan tata kelola organisasi mahasiswa yang inklusif dan menerapkan inklusivitas serta meritokrasi dalam rekrutmen guru.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan Sukma Bangsa Ahmad Baidhowi AR berpendapat catatan dari survei Setara Institute tersebut semakin menguatkan problem intoleransi bukanlah masalah yang sederhana. Menurutnya, benih-benih diskriminasi dan intoleransi sudah ada sejak anak duduk di bangku PAUD dan SD lewat perilaku para tenaga pengajar yang terbiasa memberi labeling pada siswa.

Baidhowi menambahkan dosa besar pada lingkungan pendidikan sebenarnya sangat terkait pada bagaimana manajemen sekolah dalam mengelola keuangan sekolah.

"Lihat rancangan anggaran pendapatan dan belanja sekolah (RAPBS)-nya itu sumber diskriminasi," tuturnya.

Baidhowi pun menyarankan sekolah memiliki statuta spesifik berdasarkan visi sekolah yang telah ditetapkan, sehingga bisa dioperasikan sesuai tujuan bersama. (ncm/ega)

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads