Anggota MPR Fraksi Partai Golkar, Muhammad Fauzi menilai keberlanjutan dan keberlangsungan pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara (IKN) perlu diikat dengan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Menurutnya, PPHN bisa menjawab keraguan masyarakat dan investor terhadap regulasi yang memberikan jaminan kepastian keberlanjutan proyek IKN di Kalimantan Timur.
"Segala kemungkinan dalam politik bisa saja terjadi. Kalau bicara apakah pembangunan IKN bisa atau tidak bisa dilanjutkan? Dalam politik tidak ada sesuatu yang tidak bisa. Semua kemungkinan bisa terjadi," kata Fauzi dalam keterangannya, Rabu (1/3/2023),
"Karena itu perlu dicari kunci penutupnya sehingga kebijakan (pembangunan IKN) itu tidak bisa lagi diutak-atik, salah satunya melalui PPHN," sambungnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam diskusi Empat Pilar bertema 'Keberlangsungan Pembangunan IKN Tanpa Haluan Negara' di Komplek Parlemen Jakarta, Fauzi mengakui terkadang muncul ego pada suatu rezim. Adanya ego dari rezim pemerintahan baru bisa membuat kebijakan berbeda dengan rezim sebelumnya.
"Dalam hal IKN, ego rezim itu harus ditekan. Karena program pembangunan IKN bukanlah atas nama atau kehendak pribadi seorang presiden, tetapi merupakan produk pemerintahan. Karena itu, program pembangunan IKN harus ditindaklanjuti, siapa pun rezim pemerintahan berikutnya," tegasnya.
Ia menilai segala kemungkinan bisa terjadi dalam politik sehingga PPHN bisa menjadi solusi atau kunci penutup agar kebijakan terkait IKN tidak diutak-atik. Sebab menurutnya, politisi pandai sekali mengutak-ati.
Fauzi mengungkapkan saat ini MPR masih memproses penyusunan PPHN. Namun, masih ada persoalan terkait payung hukum PPHN yang akan dimasukkan dalam UUD atau ke dalam bentuk Ketetapan MPR. Artinya, melalui amandemen UUD atau melalui jalan non-amandemen, yaitu UU atau konvensi ketatanegaraan.
"PPHN ini harus dibuat ketika negara dalam suasana sejuk. Bila dilakukan menjelang Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden, maka penyusunan PPHN akan dilihat dari sudut pandang politik. Mudah-mudahan setelah 2024 kita bisa melanjutkan pembahasan PPHN," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Otorita IKN Achmad Jaka Santos Adiwijaya mengakui pihaknya sering mendapatkan pertanyaan tentang keberlanjutan pembangunan IKN setelah Pemilu 2024.
"Karena itu, perkembangan dan dinamika politik satu dan dua tahun ke depan mendapat perhatian. Tapi kalau kita sudah memahami bahwa pembangunan IKN ini adalah amanat undang-undang, yaitu UU No. 3 Tahun 2022," jelas Achmad Jaka.
"Maka siapapun presidennya harus menjalankan undang-undang itu. Kecuali jika tidak mau melanjutkan pembangunan IKN maka UU itu harus diubah bila tidak direvisi maka bisa dikatakan melanggar UU," imbuhnya.
Menurut Achmad Jaka, diperlukan Haluan untuk membangun sebuah negara dengan landasan utama UUD NRI Tahun 1945.
"Inilah kesempatan kita membangun ibu kota negara dengan konsep yang utuh sebagai sebuah ibu kota negara. Untuk mewujudkannya perlu proses yang panjang dan dimasukkan dalam haluan negara untuk membuktikan kita bisa membangun secara berkesinambungan. Kita perlu menunjukkan bahwa Indonesia sebagai sebuah bangsa besar memiliki ibu kota negara yang kita banggakan," terangnya.
Sementara itu, Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKo) Universitas Andalas, Feri Amsari berpendapat jika mengacu pada UU, maka keberlanjutan proyek pembangunan IKN tidak perlu dikhawatirkan. Bahkan, tanpa PPHN pun proyek pembangunan IKN tetap berlanjut.
"UU No. 25 Tahun 2004 jauh lebih presisi untuk menjamin keberlanjutan pembangunan dari satu pemerintah ke pemerintah berikutnya. PPHN sebenarnya gagasan yang secara teknis telah diterjemahkan lebih detail dalam UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional," papar Feri.
Feri menambahkan kekhawatirannya justru bukan pada penghentian proyek mercusuar dan multiyear IKN, melainkan ada yang 'merecoki' persoalan teknis. Salah satunya dengan mengungkit kasus-kasus korupsi dalam proyek atau program pembangunan IKN.
"Sering kali nanti korupsi menjadi alat untuk menilai sebuah proyek atau program pembangunan itu benar atau tidak benar. Padahal keberlanjutan proyek atau program pembangunan itu harus pasti, karena sesuai dengan ketentuan undang-undang," pungkasnya.
Sebagai informasi, diskusi ini digelar dengan kerja sama Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) dan Biro Hubungan Masyarakat dan Sistem Informasi Sekretariat Jenderal MPR RI. Hadir pula dalam kesempatan ini, Jubir PKB, Mikhael Benjamin Sinaga sebagai narasumber.
(prf/ega)