Mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo divonis hukuman mati dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir Yosua. Namun, muncul spekulasi penerapan pasal hukuman mati di KUHP baru salah satunya demi menguntungkan Sambo. Para pejabat pun ramai-ramai membantah spekulasi ini.
Sebagaimana diketahui, Ferdy Sambo divonis bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap ajudannya, Brigadir N Yosua Hutabarat. Ferdy Sambo dihukum mati.
"Mengingat Pasal 340 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 dan Pasal 49 juncto Pasal 33 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP UU Tahun 1981 tentang Kitab UU Hukum Acara Pidana serta peraturan hukum lain yang bersangkutan... silakan berdiri," kata hakim Wahyu di PN Jaksel, Senin (13/2/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah mantan jenderal bintang dua Polri itu berdiri, Wahyu lalu lanjut membacakan vonis untuk Sambo.
"Mengadili, menyatakan Terdakwa Ferdy Sambo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana dan tanpa hak melakukan perbuatan membuat sistem elektronik tidak berfungsi sebagaimana mestinya secara bersama-sama," ucap Wahyu membacakan amar putusan.
"Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Ferdy Sambo pidana mati," imbuhnya.
Hakim menyatakan tak ada alasan pemaaf dan pembenar bagi Sambo. Hakim juga menyatakan tak ada hal meringankan bagi Ferdy Sambo. Vonis ini lebih berat dibanding tuntutan jaksa, yakni penjara seumur hidup.
Menkumham Tepis Spekulasi
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly langsung menepis itu tersebut. Menurutnya, KUHP baru itu sudah dibahas jauh sebelum perkara ini.
"Aduh, itu dibahas jauh sebelum ini. Jadi itu berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, pelaksanaan hukuman mati itu tidak absolut. Jadi harus ada kesempatan," kata Yasonna saat ditemui di gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (16/2).
Yasonna mengatakan pembahasan pasal hukuman mati di KUHP baru telah dilakukan sejak lama. Dia mengaku heran pasal tersebut dibuat sebagai langkah untuk menguntungkan Ferdy Sambo di kasus pembunuhan berencana Brigadir Yosua Hutabarat.
"Jadi bukan berarti ini, jauh sebelum Sambo sudah dibahas. Gila aja cara berpikirnya, udah aneh-aneh aja," katanya.
![]() |
Sementara itu, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menanggapi isu aturan percobaan 10 tahun pada terpidana mati dalam UU No 1 Tahun 2023 tentang KUHP berpotensi menimbulkan jual-beli surat kelakuan baik. Edward menegaskan penilaian kelakuan baik tak hanya diberikan oleh petugas lembaga pemasyarakatan (lapas).
"Kalau memang pikiran kita itu kotor, pikiran kita itu selalu berprasangka buruk, pikiran kita itu sudah apriori, maka sebetulnya aturan apapun itu berpotensi. Tetapi kita berfikir yang wajar-wajar saja, bahwa kelakuan baik terhadap seorang terpidana mati penilaiannya itu tidak hanya dilakukan oleh petugas lapas," ujar ujar Eddy Hiariej dalam keterangan tertulis Humas Kemenkumham, Rabu (15/2/2023). Dia menjawab pertanyaan soal dugaan percobaan 10 tahun berpotensi menimbulkan jual-beli surat kelakuan baik dari Kalapas.
Eddy Hiariej mengatakan ada hakim pengawas dan pengamat yang bertugas mengamati perubahan perilaku terpidana selama menjalankan masa hukuman. Tugas hakim pengawas dan pengamat ini, lanjut dia, diatur dalam UU 8 Tahun 1981.
"Kita harus memfungsikan apa yang namanya hakim pengawas dan pengamat. Hakim pengawas dan pengamat ini sudah ada dalam undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP. Apa fungsi hakim pengawas dan pengamat? Fungsinya adalah untuk memastikan apakah vonis apakah putusan pengadilan yang dijatuhkan kepada terpidana itu dia bisa berlaku efektif ataukah tidak untuk memperbaiki si terpidananya," tuturnya.
Apa kata Menko Polhukam? Baca halaman selanjutnya>>>