Saat Kasus Pembeli Siomai Rp 4,2 Juta di Jakut Sampai Meja Hakim Agung

Saat Kasus Pembeli Siomai Rp 4,2 Juta di Jakut Sampai Meja Hakim Agung

Andi Saputra - detikNews
Rabu, 01 Feb 2023 12:53 WIB
Tiga hakim agung resmi dilantik Mahkamah Agung (MA) di Gedung MA, Jakarta, JUmat (30/9). Ketiganya yakni, Panji Widagdo, Ibrahim, dan Edi RIadi.
Palantikan hakim agung beberapa waktu lalu (Ari Saputra/detikcom)
Jakarta -

Hakim dilarang menolak perkara untuk diadilinya. Asas ini membuat hakim seperti makan buah simalakama. Bila ditolak melanggar UU, tapi bila tidak ditolak, banyak perkara kecil masuk ke pengadilan, bahkan sampai meja hakim agung. Alhasil, ribuan perkara menumpuk dan proses sidang menjadi lambat.

Berdasarkan salinan putusan yang dilansir website Mahkamah Agung (MA), Rabu (1/2/2023), salah satu perkara kecil itu adalah kasus jual-beli siomai di Jakarta Utara (Jakut). Diceritakan kasus bermula saat Mulyana (62) membeli siomai dari Efendi pada Mei 2021. Mulyana dan Efendi merupakan teman lama dalam bisnis siomai.

Awalnya Mulyana memesan 120 siomai seharga Rp 1,7 juta. Karena mengenal lama, Efendi percaya pada pembayaran di belakang hari. Mulyana kemudian memesan siomai lagi ke Efendi berkali-kali sehingga total pemesanan Rp 3,3 juta. Efendi kemudian menagih Mulyana untuk membayarnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Morning bang. Lagi bokek nih. Nagih bon siomay dong. Total Rp 4.205.000. Diskon 20 persen menjadi Rp 3.364.000," demikian WhatsApp Efendi ke Mulyana.

Ternyata jawaban Mulyana tidak mengenakkan sehingga Efendi tidak terima. Efendi melaporkan kasus itu ke Polsek Penjaringan dan Mulyana diproses secara hukum.

ADVERTISEMENT

Di persidangan, jaksa menuntut Mulyana 6 bulan penjara karena melakukan penipuan siomai kepada Efendi sebagaimana diatur Pasal 378 KUHP. Mendapati perkara itu, Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut) menilai kasus itu bukanlah kasus pidana, tapi kasus utang piutang alias kasus perdata.

"Melepaskan terdakwa oleh karena itu dari segala tuntutan hukum," putus majelis yang diketuai Boko dengan anggota Edi Junaedi dan Purnawan Narsangko.

Jaksa yang menuntut 6 bulan penjara Mulyana tidak terima dan mengajukan kasasi. Hakim agung langsung menggelar sidang dan menyatakan sebaliknya. Mulyana bersalah.

"Mengadili sendiri. Terbukti Pasal 378 KUHP, menjatuhkan pidana penjara selama 3 bulan dengan masa percobaan 6 bulan, dengan syarat khusus Terdakwa mengganti kerugian korban sejumlah Rp 4.205.000," putus ketua majelis kasasi Salman Luthan dengan anggota Soesilo dan Dwiarso Budi Santiarso.

Putusan itu diketok pada Selasa (31/1) kemarin dengan panitera pengganti Arman Surya Putra. Perkara itu diadili oleh majelis dalam kurun waktu 14 hari.

Kasus siomay di atas bisa jadi menjadi salah satu contoh kasus dengan nilai tidak begitu besar tapi harus sampai diadili hakim agung. Masih banyak ribuan kasus lain serupa yang sampai MA. Dalam catatan kepaniteraan MA, dalam setahun terdapat 21 ribuan perkara yang harus diadili hakim agung. Padahal, jumlah hakim agung tidak sampai 50 orang. Alhasil, alur menjadi lama, khususnya pengetikan salinan putusan.

"Sepanjang tahun 2022, MA telah menyelesaikan minutasi (mengetik salinan putusan) perkara sebanyak 30.195 perkara," kata Panitera MA Ridawan Mansyur.

Jumlah itu sangat jauh jumlahnya bila dibandingkan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dalam setahun mengadili 100-an perkara yang diadili oleh 9 hakim konstitusi.

Berbagai upaya dilakukan agar kasus-kasus kecil tidak sampai ke MA. Salah satunya MA dan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kemenkumham akan melatih para kades/lurah menjadi paralegal/mediator. Diharapkan kades/lurah bisa menjadi hakim perdamaian di desa/kelurahan untuk perkara-perkara di masyarakat dengan nilai yang ringan.

"Kades bisa berperan sebagai Hakim Perdamaian Desa dan bisa menyelesaikan permasalahan di luar pengadilan sehingga bisa mengikis perkara di pengadilan," kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Sobandi saat menerima Kepala BPHN Widodo Ekatjahjana di kantornya, Selasa (31/1) kemarin.

Oleh sebab itu, MA mendukung langkah BPHN yang akan membekali para kades dengan praktik keilmuan paralegal dan mediasi. Selain itu juga akan diberikan penghargaan bagi kades yang bisa berperan aktif dalam mendamaikan konflik warganya. Untuk diketahui, pada masa lalu, banyak hakim juga yang kerap mengisi sosialisasi hukum kepada masyarakat di pedesaan.

"Langkah ini sangat bagus dan tentu MA mendukung upaya tersebut," ujar Sobandi.

Sementara itu, Widodo Ekatjahjana menilai Hakim Perdamaian Desa merupakan fungsi kades yang sudah dilakukan dalam praktik sehari-hari mereka. Fungsi hakim perdamaian ini bisa dirujuk dalam berbagai tradisi, adat dan kultur serta kearifan lokal masyarakat. Oleh sebab itu, BPHN dan MA menilai perlu membekali kades di seluruh Indonesia dengan materi-materi paralegal dan bagi yang terbaik diberikan penghargaan.

Tonton juga Video: 9 Orang Diperiksa Terkait Pelanggaran Etik Kasus Suap MA

[Gambas:Video 20detik]



(asp/zap)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads