Bau anyir menjadi pertanda bahwa air laut pantai utara Jakarta daerah Cilincing sudah cukup dekat dengan tempat itu berada. Sementara, indera lain bisa menangkap tumpukan sampah di ujung jalanan setapak. Plastik, remah-remah bangunan, hingga sisa makanan yang menyatu dengan tanah berbaris rapi di pinggiran tembok setinggi setengah badan seakan menyambut siapapun yang melewatinya. Semakin masuk ke dalam kawasan yang padat itu, suara badan kapal kayu yang beradu semakin nyaring terdengar.
Tidak jauh dari situ, riuh para penghuni kampung nelayan yang ramai perlahan digantikan teriakan anak-anak kecil belajar membaca. Suara itu berasal dari sebuah bangunan berwarna biru muda dengan atap asbes serta seng yang mengarat. Bangunan itu bertuliskan "Rumah Baca Merah Putih".
Terletak di pinggiran kawasan Kampung Nelayan Kolong Jembatan Cilincing (Kojem), tempat itu menjadi sekolah alternatif bagi puluhan anak nelayan yang dikepalanya terbesit cita-cita untuk keluar dari kawasan yang tidak terlalu ramah kepada mereka. Desi Purwatuning si pemilik rumah baca mengatakan, anak-anak Kojem adalah obyek yang rentan terhadap berbagai jenis kekerasan. Bukan saja di luar rumah, kekerasan bahkan dilakukan oleh orang-orang yang berada di bawah satu atap dengan mereka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Desi mengungkapkan, lingkungan tempat mereka tumbuh membuat anak-anak ini dewasa sebelum waktunya. Perangai buruk, mulai dari ucapan serta tindakan, tidak mencerminkan usia mereka. Semua itu lepas dari pantauan orang tua, yang lebih banyak bekerja di atas kapal ikan atau tertidur lelap karena kelelahan.
"Anak-anak ini kalau saya bilang, memang mereka kasar. Nggak punya attitude. Terus, pendidikan pun minim. Anak-anak itu. Kekerasan pun banyak. Kekerasan kepada anak, pelecehan terhadap anak, itu banyak. Kepedulian orang tua terhadap anak juga sedikit," ungkap Desi kepada tim Sosok detikcom Minggu (29/1).
anak-anak itu melihat ibu mereka bertransaksi di dalam rumah, halaman selanjutnya.
Desi Menceritakan, Kojem bukanlah tempat yang layak untuk ditinggali anak-anak. Kriminalitas yang tinggi serta dekat dengan aktivitas malam menjadikan wilayah itu terlalu keras bagi mereka yang tengah berada di masa pertumbuhan.
Tidak sedikit dari mereka yang tinggal di kawasan lokalisasi. Paparan informasi tentang dunia malam pun lebih banyak menggerogoti pikiran anak-anak Kojem. Desi mengatakan, beberapa anak didiknya bahkan tahu berapa 'harga' ibunya setiap kali transaksi. Inilah yang membuat Desi terus bertekad untuk 'menyelamatkan' masa kecil anak-anak yang bersekolah di Rumah Baca Merah Putih besutannya.
"Ibu-ibunya kan pekerja malam. Nah, mereka melakukan itu di rumah, dan anak itu melihat. Efeknya ketika melihat, anak-anak itu mencontoh, melakukan. Sampai anak-anak itu pun bercerita sama kami, 'Ibuku ... si A, si B, si C,' seperti itu. Bahkan mereka cerita tarif ibunya berapa, sama kami," terang Desi.
Bocah-bocah yang hidup dari ayah seorang nelayan atau ibu PSK, rentan kehilangan masa mudanya. Hal ini membuat Desi harus berpikir keras agar anak-anak yang tinggal di kawasan Kojem Cilincing itu tidak menjadi obyek kekerasan serta pelecehan. Maka, desi pun berstrategi, mengumpulkan mereka dengan cara memberi hiburan yang sarat dengan ilmu serta pendidikan di dalamnya.
Pertama, Desi memberikan wahana baca yang didalamnya terdapat ratusan buku cerita bergambar. Dengan begitu, keingintahuan yang muncul diharapkan dapat mendorong anak-anak itu belajar membaca. Sementara itu, cara kedua Desi adalah mengajak mereka berkeliling menggunakan kapal kayu milik tetangganya.
Desi mengatakan, anak-anak itu perlu sesekali diajak menjauh dari hiruk-pikuk dan sumpah serapah yang sering terdengar di dalam kawasan perkampungan. Ia juga mengatakan, dengan mengajak mereka menjauh dari Kojem, Desi ingin memberi wawasan baru bagaimana layaknya seseorang hidup dengan baik.
"Makanya, saya itu lebih menitikberatkan ke anak-anak ini agar mereka punya sikap, akhlak yang baik gitu. Jadi ketika punya akhlak dan sikap yang baik, mereka nggak akan pengaruh dari gempuran masyarakat di sini. Kami mengajari mereka bagian tubuh mana yang tidak boleh disentuh orang. Kamu boleh disentuh tangan, yang diluar. Kamu tidak boleh disentuh bagian yang tertutup. Ketika kamu disentuh, kamu keluar, atau kamu lari dan kamu teriak. Saya ajarkan," kata Desi.
di balik alasan Desi bersampan, halaman selanjutnya.
Ternyata ada maksud lain saat Desi mengajak mereka berkeliling dengan sampan. Lokasi belajar adalah salah satu isu penting yang perlu diselesaikan oleh Desi. Beberapa kali, Rumah Baca Merah Putih harus berpindah. Mulai dari tempat bilyar, hingga musholla darurat yang berada di atas laut.
"Jadi, ada dulu namanya Mami Rina. Mami Rina bilang, 'Udah, belajar di sini aja.' Jadi, anak-anak itu belajar di kolong meja billiard. Jadi, billiard, bawahnya itu anak-anak tiduran, gitu, sambil belajar. Nah, baru pindah-pindah tempat lain. Selain di meja billiard, kami pernah di musholla. Musholla-nya itu di atas laut. Jadi, kalau ombak, musholla-nya goyang," kenang Desi.
Tempat yang mereka sebut sebagai rumah baca saat adalah bekas diskotek yang tidak terpakai. Sebelumnya, oleh beberapa warga yang tidak suka pada kegiatan yang Desi lakukan, tidak jarang dimanifestasikan dengan tindakan keras. Desi menyebutkan, lemparan alat kontrasepsi bekas hingga ancaman pembunuhan pun sering ia dapatkan. Maka, mengajak mereka keluar di saat-saat aktivitas warga sedang ramai adalah jalan tengah yang menurutnya efektif untuk menghindari konflik.
"Waktu kami di sini ini, kami diancam mau dibunuh. Pertama kali kami buat. Aku diancam, mau dibunuh pakai celurit lho, Mbak. Celurit beneran. Terus ada lagi, kita pindah ke tempat, ada satu tempat di atas laut juga. Kita dibatasin sama triplek. Yang satu pekerja malam, kami aktivitasnya pagi. Jadi kita berbeda nih. Jadi, kalau kami pas lagi ngajar, mereka nggak segan-segan lempar, maaf, alat kontrasepsi yang sudah dipakai ke kami, gitu," terangnya.