Desi Purwatuning, Tokoh Pendidikan di Jantung Prostitusi Cilincing

Sosok

Desi Purwatuning, Tokoh Pendidikan di Jantung Prostitusi Cilincing

Nada Celesta - detikNews
Minggu, 29 Jan 2023 07:07 WIB
Jakarta -

Kaki-kaki kecil berbaris di depan rumah bercat merah muda. Anak-anak yang tinggal tidak jauh dari bibir pantai utara Jakarta itu satu per satu menyebutkan cita-cita mereka. Seorang di antaranya bernama Ajat. Dengan lantang ia mengatakan, dirinya sangat ingin menjadi seorang guru.

Kampung di mana Ajat tinggal, sosok guru memang sulit ditemui. Selain lokasi sekolah formal yang tidak terlalu dekat, masyarakat di sana sudah terlanjut disibukkan oleh rutinitas sebagai keluarga nelayan. Demikian pula dengan Ajat, sebagai anak seorang pencari ikan di perairan Jakarta, ia pun fasih membagi waktu antara larut dalam rutinitas itu serta kembali menyusun strategi untuk menjemput mimpinya menjadi guru.

Beruntung, tekad Ajat didukung oleh Desi. Perempuan paruh baya itu dikenal sebagai 'Bunda' oleh Ajat dan teman-teman sebayanya. Desi tidak datang tiba-tiba. Setidaknya, sudah 16 tahun Bunda Desi mendampingi anak-anak nelayan yang tinggal di kolong jembatan Cilincing untuk mengenyam pendidikan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Desi mengakui, mendidik anak-anak nelayan di lingkungan tempat tinggalnya tidak hanya memerlukan kerja ekstra, tetapi juga strategi jitu. Sebab, situasi perkampungan yang terdiri dari para pendatang itu terlalu keras bagi anak-anak seumuran Ajat. Ditambah lagi, para orang tua yang tidak mengenyam pendidikan merasa bahwa anak-anaknya pun tidak perlu berbekal ilmu tinggi untuk menjalani hidup.

"Kojem (Kolong Jembatan Cilincing) itu adalah tempat ilegal yang memang tidak ada di data pemerintah. Kojem itu, orang banyak bilang adalah tempat kriminal. Tempat dunia malam. Tempat banyak PSK (Pekerja Seks Komersial). Banyak diskotik. Kalau garis besar, kita bilang, tempat yang kurang baik. Tempat yang kurang bagus, kurang layak, untuk semua hal. Baik untuk anak, orang tua, untuk siapapun nggak bagus," kata Desi Purwatuning kepada tim Sosok detikcom (29/1/23).

ADVERTISEMENT

Sulitnya mendapat tempat layak, halaman selanjutnya.

Saat itu, hal pertama yang dilakukan Desi adalah membuat wadah belajar bagi anak-anak di wilayah Kojem. Ia menamai tempat itu dengan sebutan 'Rumah Belajar Merah-Putih'. Namun, perkara memperoleh tempat belajar pun menjadi masalah besar bagi Desi. Ia menceritakan masa-masa awal rumah belajar itu berjalan. Anak-anak yang dididiknya pernah belajar di samping kamar 'esek-esek' hingga akhirnya berpindah ke musholla yang berdiri di atas laut.

"Kami pernah di musholla. Musholla-nya itu di atas laut. Jadi kalau ombak, musholla-nya goyang," kata Desi.

Kini, Rumah Belajar Merah Putih sudah menempati lokasi yang lebih aman. Berdiri di atas bekas diskotik, kini Desi bisa mengajar anak-anak Kojem dengan tenang. Walaupun kondisinya tidak cukup nyaman untuk belajar, Desi mengakui bahwa tempat itu jauh lebih layak dari lokasi sebelumnya.

"Jadi, ada dulu namanya Mami Rina. Mami Rina bilang, 'Udah, belajar di sini aja.' Jadi, anak-anak itu belajar di kolong meja billiard. Jadi anak-anak tiduran, gitu, sambil belajar. Terus ada lagii, kita pindah ke tempat, di atas laut juga. Kita dibatasi sama triplek. Yang satu pekerja malam, kami aktivitasnya pagi. Jadi, kalau kami pas lagi ngajar, mereka nggak segan-segan lempar, maaf, alat kontrasepsi yang sudah dipakai ke kami, gitu,' kenangnya.

Dengan segala peralatan dan perlengkapan ajar seadanya, Desy sanggup mendampingi Ajat dan teman-temannya untuk mengejar cita-cita. Namun ada hal sangat fundamental yang perlu diajarkan Desi kepada para anak didiknya. Perkampungan miskin yang erat dengan kehidupan malam terlalu berbahaya bagi mereka.

Anak-anak Kojem rentan pelecehan seksual, halaman selanjutnya.

Desi mengatakan, anak-anak kampung Kojem rentang menjadi korban kekerasan seksual. Bahkan, ancaman itu muncul dari dalam rumah mereka sendiri. Untuk itu, secara khusus Desi terus mendorong agar anak-anak didiknya memahami bagaimana cara bereaksi saat seseorang berusaha melecehkan mereka.

"Kami mengajari mereka bagian tubuh mana yang tidak boleh disentuh orang. Kamu boleh disentuh tangan, yang di luar. Kamu tidak boleh disentuh bagian yang tertutup. Ketika kamu disentuh, kamu keluar atau kamu lari dan kamu teriak. Saya ajarkan. Jadi dari PAUD pun, dari anak PAUD pun, sampai yang besar pun kami ajarkan itu," pungkasnya.

Halaman 2 dari 3
(vys/vys)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads