LPSK mengungkapkan, selama 2022, kejahatan seksual banyak terjadi di lingkup sekolah. Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf tak setuju dengan pernyataan LPSK itu.
"Poinnya saya tidak setuju dengan pernyataan LPSK yang seolah-olah paling banyak di sekolah, di mana-mana terjadi," Dede saat dihubungi, Senin (16/1/2023).
Kalaupun kejahatan seks terjadi di sekolah, analisis Dede Yusuf, hal itu disebabkan sulitnya mengontrol warga sekolah yang jumlahnya banyak. "Kalau dibilang kenapa di sekolah, karena berkumpulnya sekian banyak orang dalam satu tempat, dan mengontrolnya sangat sulit sekali," tutur dia.
Dede lalu menjelaskan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) sudah mengeluarkan aturan terkait kekerasan seksual. Bahkan sanksi dari tindak kejahatan itu juga ada dalam KUHP. Namun, jika masih terjadi kekerasan seksual di lingkungan sekolah, artinya ada proses-proses dalam hubungan sosial yang gagal terjadi.
"Aturan-aturan sudah dikeluarkan, seperti Permendikbud mengenai kekerasan seksual juga sudah ada, lalu kemudian KUHP sudah ada, kenapa hal itu masih juga terjadi sana-sini. Artinya, proses saling menghargai tidak terjadi, bullying dan sebagainya," katanya.
Sebelumnya, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menilai kejahatan seksual di Indonesia kian memprihatinkan. Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo mengatakan kasus ini perlu mendapat atensi khusus oleh berbagai pihak.
"LPSK menilai bahwa kejahatan seksual yang terjadi di wilayah Indonesia sudah sangat masif sehingga atensi perlu diberikan secara khusus atas kasus-kasus tindak kekerasan seksual," kata Hasto dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR di kompleks parlemen, Jakarta, Senin (16/1).
Terutama, kata Hasto, kejahatan seksual yang terjadi di sekolah. Tindak kejahatan itu terbanyak terjadi di sekolah berbasis asrama.
"Utamanya yang terjadi di sekolah-sekolah atau fasilitas-fasilitas berbasis asrama dengan jumlah korban cukup banyak. Di antaranya sekolah-sekolah umum maupun sekolah berbasis agama. Ini banyak mengalami kasus kekerasan seksual ini," tutur Hasto.
Lebih lanjut Hasto menjelaskan permohonan perlindungan kasus kekerasan seksual terhadap anak meningkat pada 2022. Kenaikan itu mencapai 25,82 persen.
"Pada 2022, LPSK menerima 536 terkait permohonan kasus kekerasan seksual terhadap anak, yang ini naik menjadi 25,82 persen jika dibanding dengan permohonan tahun 2021 sebesar 426 (permohonan)," kata dia.
(azh/aud)