Konflik rumah dinas antara ahli waris pensiunan Ditjen Perhubungan Udara Kemenhub, Hasan Djasri, memasuki persidangan. Pihak ahli waris Hasan, yakni Priyo Adhisartono, menghadirkan ahli hukum tata negara dalam sidang.
Ahli yang dihadirkan Priyo adalah pakar hukum tata negara dan konstitusi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Dr Fahri Bachmid dalam sidang sengketa Tata Usaha Negara di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Selasa (10/1/2022). Priyo dalam sidang diwakilkan oleh pengacaranya, Muhammad Rullyandi.
Dalam persidangan pemeriksaan, Fahri Bachmid menjelaskan analisanya tentang pengalihan status rumah. Menurutnya, status rumah itu bisa dialihkan.
Diketahui, konflik bermula saat Hasan Djasri menempati rumah dinas itu pada 1977. Rumah itu ditujukan untuk PNS golongan II. Seiring waktu, sebagian rumah sudah dibeli oleh warga dan menjadi hakim milik dan tersisa belasan yang belum bisa dibeli. Termasuk Hasan Djasri mencoba ikut membelinya, tapi tidak dikabulkan.
Pada 1986, Hasan Djasri memasuki pensiun. Usaha membeli terus dilakukan. Anak-anak Hasan Djasri sudah berusaha membeli rumah itu, tetapi belum bisa terealisasi.
"Namun hingga saat ini sudah berjalan 35 tahun lamanya menunggu dengan penuh harapan kepastian untuk bisa membeli rumah negara belum juga bisa terwujud," kata Priyo Adhisartono dalam surat terbuka ke Jokowi, Rabu (24/8) tahun lalu.
Saat ini, usianya sudah 63 tahun, bukan lagi usia yang produktif. Di usia itu, Priyo Adhisartono mendapat surat peringatan dari Kemenhub untuk mengosongkan rumah itu.
"Apalagi di tengah keadaan imbas pandemi COVID-19, mendapat surat peringatan kedua untuk dilakukan pengosongan rumah dinas," ucap Priyo Adhisartono.
Menurut Priyo Adhisartono, apa yang dialaminya karena peraturan Kemenhub berubah-ubah atas status tanah itu. Ketidakpastian apa yang dialaminya adalah bertentangan dengan asas umum pemerintahan yang baik, yakni asas kepastian hukum dan asas kecermatan. Hal itu dinilai bertentangan dengan Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 dan sejumlah pasal terkait.
Kembali ke persidangan, Fahri Bachmid mengatakan apa yang dilakukan pihak Kemenhub itu bertentangan dengan hukum.
"Hal tersebut tentunya sangat bertentangan dengan prinsip kepastian hukum, Dalam khazanah hukum administrasi, tindakan pemerintahan sendiri dapat diklasifikasikan atas tindakan hukum (rechtshandeling) dan tindakan faktual/materiil (feitelijk/materielehandeling). Tindakan hukum pemerintah adalah tindakan yang dilakukan oleh pemerintah yang didasarkan norma-norma hukum tertentu dan ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum di bidang hukum tertentu," kata Fahri dalam sidang seperti keterangan pihak Priyo Adhisartono yang diterima, Selasa (10/1/2023).
"Tindakan faktual/materiil pemerintah adalah tindakan yang dilakukan pemerintah dalam rangka melayani kebutuhan faktual/materiil rakyat dan tidak ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum, sehingga dengan demikian, perbuatan/tindakan diamnya pejabat tata usaha negara atas persoalan tersebut sesuai norma dalam UU No 30/2014 tentang Administrasi negara dapat di golongkan sebagai Tindakan Administrasi Pemerintahan untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan," imbuhnya.
Menurut Fahri keputusan Kemenhub yang selalu berubah-ubah itu bertentangan dengan asas kepastian hukum; kemanfaatan; ketidakberpihakan; kecermatan; tidak menyalahgunakan kewenangan; keterbukaan; kepentingan umum; dan pelayanan yang baik.
"Dengan demikian perbuatan/tindakan aktual dari Kementerian perhubungan tersebut sangat bertentangan dengan prinsip serta kaidah-kaidah hukum administrasi negara itu sendiri," tutup Fahri Bachmid.
(asp/zap)