Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja telah diterbitkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada akhir 2022. Perppu Cipta Kerja ditolak oleh para aktivis dan pakar hukum. Berikut ini para aktivis hingga pakar hukum yang menyatakan penolakan terhadap Perppu Cipta Kerja.
Pertama, ada Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Gita Putri Damayana. Dia menolak Perppu itu karena Perppu itu dinilainya tidak memenuhi syarat terbitnya Perppu, yakni kegentingan yang memaksa.
"Menurut Pemerintah, kehadiran Perppu Ciptaker telah memenuhi syarat dibentuknya sebuah Perppu yakni adanya kebutuhan mendesak dan kekosongan hukum," kata Gita kepada wartawan, 31 Desember 2022.
Perppu Cipta Kerja diterbitkan setahun setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan guguatan terhadap UU Cipta Kerja itu. MK menilai UU Cipta Kerja bertentangan dengan konstitusi, maka UU Cipta Kerja itu inkonstitusional. MK mengamanatkan agar DPR dan pemerintah memperbaiki UU itu dalam dua tahun. Setahun berlalu, tapi ternyata bukan perbaikan UU yang dilakukan, melainkan penerbitan Perppu.
"Penerbitan Perppu adalah seperti siasat sehingga secara keseluruhan seolah mengkhianati amanah MK demi mengakali syarat partisipasi bermakna ini," kata Gita Putri. PSHK meminta agar DPR menolak Perppu itu. DPR bakal segera membahas Perppu itu.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) juga menyuarakan penolakan senada. Menurut YLBHI, Perppu Cipta Kerja adalah pembangkangan konstitusi. Aktivis Muhammad Isnur yang merupakan Ketua Umum YLBHI menyampaikan hal ini.
"YLBH menilai penerbitan Perppu ini jelas bentuk pembangkangan, pengkhianatan, atau kudeta terhadap konstitusi RI, dan merupakan gejala yang makin menunjukkan otoritarianisme pemerintahan Joko Widodo," kata siaran pers YLBHI, Minggu (1/1/2023) lalu.
Dari pakar hukum, ada Dr Fitriani Ahlan Sjahrif dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI). Dia merasa Perppu itu mirip prank akhir tahun. Dia berharap UU Cipta Kerja diperbaiki seperti amanat MK, tapi ternyata yang terbit bukannya perbaikan UU, melainkan Perppu.
"Perppu bukan alasan yang tepat menjalankan putusan MK," kata Fitriani dalam webinar Asosiasi Pengurus Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) di channel YouTube APHTN-HAN, Kamis (5/1/2023) pekan lalu.
Selanjutnya, ada Dr Khairul Fahmi yang merupakan ahli hukum dari Universitas Andalas (Unand), Padang. Dia mengkritisi perihal syarat kegentingan memaksa yang absen dari kondisi lahirnya Perppu Cipta Kerja. Ihwal kegentingan memaksa diatur dalam putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, yakni adanya keadaan berupa kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU, terjadi kekosongan hukum, dan tidak cukup waktu pembuatan UU dengan prosedur biasa. Seolah-olah kini, Presiden menerbitkan Perppu tanpa pertimbangan sesuai aturan.
"Kita memilih memperkuat sistem presidensil, tapi kali ini kita melihat mengarah itu, mengarah ke pemerintahan otoritarian," kata Khairul Fahmi dalam Webinar Asosiasi Pengurus Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) di channel YouTube APHTN-HAN, yang dikutip detikcom, Senin (9/1/2023) kemarin.
Ada pula ahli hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti. Dia terkejut dengan penerbitan Perppu Ciptaker. Perppu itu dinilainya sebagai jalan pintas mengakali putusan MK yang mengamanatkan perbaikan UU Cipta Kerja dengan memenuhi syarat partisipasi publik yang bermakna. Perppu tidak membutuhkan partisipasi publik. Lagi pula, tidak ada kedaruratan yang melatarbelakangi Perppu itu.
"Itu sangat tidak demokratis, menggunakan mekanisme darurat untuk sesuatu yang sebenarnya normal," kata Bivitri.
Profesor Jimly Asshiddiqie yang merupakan mantan Ketua MK juga tidak setuju dengan Perppu Cipta Kerja. "Perppu ini jelas melanggar prinsip negara hukum yang dicari-carikan alasan pembenaran oleh sarjana tukang stempel. Peran MK dan DPR diabaikan. Ini bukan contoh rule of law yang baik tapi jadi contoh rule by law yang kasar dan sombong," kata Jimly dalam keterangan tertulis.
Meski demikian, pemerintah menyatakan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tersebut terbit atas latar belakang kondisi kegentingan krisis global 2023, dari perang di Ukraina sampai potensi resesi ekonomi dunia.
"Pertimbangannya adalah kebutuhan mendesak, pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global baik yang terkait ekonomi kita menghadapi resesi global, peningkatan inflasi, kemudian ancaman stagflasi, dan juga beberapa negara sedang berkembang yang sudah masuk kepada IMF itu lebih dari 30 dan sudah antre juga 30," kata Menko Perekonomian Airlangga Hartarto di Istana Kepresidenan, 30 Desember 2022.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud Md, menyatakan kembali hal tersebut. Maka pertimbangan penyelamatan ekonomi masyarakat dari krisis global dan resesi merupakan kegentingan yang memaksa yang melatarbelakangi Perppu Cipta Kerja.
"Maka cara lain harus ditempuh, yaitu UU Ciptaker itu harus disahkan dulu dengan perangkat peraturan perundang-undangan yang setingkat dengan undang-undang. Maka dikeluarkanlah Perppu, Perppu itu alasan mendesaknya ya itu tadi," kata Mahfud di kantornya, Jakarta Pusat, Minggu (8/1/2023) kemarin.
(dnu/asp)