Ahli hukum Universitas Andalas (Unand), Padang, Dr Khairul Fahmi, menyebut tidak ada kegentingan memaksa untuk lahirnya Perppu Nomor 2/2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker). Bila hal itu dibiarkan, Indonesia bisa masuk sistem otoriter.
Dr Khairul Fahmi menyebut kondisi ekonomi saat ini bisa ditangani dengan berbagai langkah kebijakan pemerintah, bukan dengan melahirkan Perppu.
"Tidak mesti dengan Perppu pilihan pemerintahan dengan kondisi saat ini. Perppu tidak tepat," kata Khairul Fahmi dalam dalam Webinar Asosiasi Pengurus Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) di chanel YouTube APHTN-HAN, yang dikutip detikcom, Senin (9/1/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Khairul Fahmi membenarkan bahwa Presiden mempunyai hak subjektif untuk mengeluarkan perppu sehingga menjadi keadaan objektif. Namun, hak subjektif itu dibatasi putusan Nomor 138/PUU-VII/2009. Keadaan objektif tersebut dirumuskan MK dalam tiga parameter ada atau tidaknya ihwal kegentingan memaksa, yaitu:
(1) Adanya keadaan berupa kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU,
(2) UU yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau UU yang ada tidak memadai, dan
(3) kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU dengan prosedur biasa karena keadaan mendesak tersebut perlu kepastian untuk segera diselesaikan.
"Apakah terbitnya Perppu Nomor 2/2022 telah memenuhi parameter kegentingan memaksa tersebut? tidak," ucap Khairul Fahmi tegas.
Khairul Fahmi sepakat bila sistem pemerintahan Indonesia adalah sistem presidensial. Tapi sistem itu tetap ada batasnya.
"Kita memilih memperkuat sistem presidensil, tapi kali ini kita melihat mengarah itu, mengarah ke pemerintahan otoritarian," beber Khairul Fahmi.
Untuk mencegah hal tersebut, perlu dilakukan langkah oleh DPR dengan menolak perppu itu. Pun bila disetujui, Mahkamah Konstitusi (MK) harus berani menganulirnya.
"Dalam praktik dapat menguji ke MK. Namun saya khawatir, akhir-akhir ini, MK perlu dijaga kemandiriannya. Jika tidak dijaga lagi independensinya, kekuatan politik memaksa untuk tidak objektif, maka fungsi check and balances dalam konstitusi tidak berjalan," tega Khairul Fahmi.
Berbeda dengan Dr Khairul Fahmi, pengacara Yusril Ihza Mahendra memandang Perppu tentang UU Cipta Kerja merupakan pilihan paling mungkin yang bisa diambil Presiden Jokowi untuk mengatasi keadaan. Soalnya, UU Cipta Kerja sudah dinyatakan MK sebagai inkonstitusional bersyarat.
"Tentu bukan pilihan terbaik, apalagi dilihat dari sudut pandang normatif dan akademik, tetapi merupakan pilihan yang paling mungkin mungkin untuk diambil dalam mengatasi keadaan," kata Yusril,
Perppu Nomor 2 Tahun 2022 itu diterbitkan Jokowi setelah pada 25 November 2021 MK memutuskan prosedur pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan konstitusi. Maka, MK mengamanatkan agar dalam waktu dua tahun DPR dan Presiden harus memperbaiki UU itu. Bila lewat tenggat, UU tidak berkekuatan hukum. MK juga melarang pemerintah membuat peraturan pelaksanaan UU Ciptaker sebelum UU Ciptaker diperbaiki.
"Putusan MK kali ini memang lain dari biasanya. Namun mau diperdebatkan bagaimanapun juga, putusan MK itu adalah final dan mengikat. Tidak ada pilihan lain kecuali mematuhinya," kata Yusril yang juga Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) ini.
Lihat juga video 'Perppu Cipta Kerja Terbit-Demi Kegentingan Situasi Global':