Ahli hukum pidana Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), Prof Suparji Ahmad, mengkritisi UU PPSK terkait pemberian kewenangan tunggal kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk melakukan penyidikan kasus tindak pidana di sektor keuangan. Prof Suparji menilai itu kebijakan radikal.
"Kalau ini diberikan kewenangan penuh pada OJK, ini kan suatu perubahan yang cukup radikal," kata Suparji kepada wartawan, Sabtu (7/1/2023).
Selain kebijakan radikal, Suparji menilai kewenangan penyidikan oleh OJK yang termuat di UU PPSK juga bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sebab, di KUHAP tertulis penyidik adalah penyidik dari polisi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bertentangan dengan KUHAP. Kalau KUHAP kan ya satu-satunya penyidik ya polisi. Kemudian penyidik PNS (PPNS) yang konvensional, yang sesuai dengan misal kehutanan, lingkungan hidup, PPNS itu, yang terjadi selama ini itu. Tetapi tetap mereka berkoordinasi dengan polisi," ucap Prof Suparji.
Dia juga menilai kewenangan absolut yang diberikan kepada OJK dalam melakukan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan juga dianggap berbahaya. Dia menyebut kewenangan ini berpotensi abuse of power dan penyalahgunaan wewenang.
"Ini berbahaya karena tidak ada komisi yang berwenang mengawasi OJK jika satu waktu berbuat kecurangan atau kesalahan," ucap Suparji.
Diketahui, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diberi kewenangan menjadi satu-satunya institusi yang memiliki hak untuk melakukan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan. Hal itu diatur dalam Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK).
UU tersebut memperluas definisi penyidik yang terdiri tidak hanya penyidik Polri dan penyidik PPNS namun juga mengadopsi penyidik pegawai tertentu yang diangkat oleh OJK sebagai penyidik OJK, serta penyidikan hanya dapat dilakukan oleh penyidik OJK.
Redaksi detikcom telah meminta tanggapan ke Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengenai kewenangan penyidikan tunggal di sektor keuangan ini, namun belum mendapatkan respons.