Pemberian kewenangan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai satu-satunya yang memiliki hak untuk melakukan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan di dalam UU Pengembangan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) dikritik berbagai kalangan. Pakar hukum pidana dari Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Profesor Suparji Ahmad meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendengarkan suara masyarakat.
"Mestinya Presiden mendengar aspirasi masyarakat, respons ya. Lihatlah standar (penegakan hukum-red)-nya, gunakan asas-asas universal di mana di negara penyidik terbagi-bagi, saling kerja sama seperti itu lho. (OJK) berbagi dengan polisi saja masih timbul tanda tanya, apalagi dengan (diberi kewenangan penyidikan-red) seperti itu," ujar Prof Suparji kepada wartawan, Jumat (6/1/2023).
Untuk diketahui, kewenangan penyidikan oleh OJK termuat dalam Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK). Suparji menuturkan aturan itu bertentangan dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bertentangan dengan KUHAP. Kalau KUHAP kan ya satu-satunya penyidik ya polisi. Kemudian penyidik PNS (PPNS) yang konvensional, yang sesuai dengan misal kehutanan, lingkungan hidup, PPNS itu, yang terjadi selama ini itu. Tetapi tetap mereka berkoordinasi dengan polisi," terang Prof Suparji.
Prof Suparji bahkan menyebut pemberian kewenangan penyidikan absolut pada OJK sebagai keputusan yang radikal. "Kalau ini diberikan kewenangan penuh pada OJK, maka ini kan suatu perubahan yang cukup radikal," tegas dia.
Menurutnya, semisal aturan itu tetap ingin diundangkan, aturan dalam KUHAP harus direvisi sehingga mengakomodir pemberian kewenangan penyidikan pada OJK. "Kan selama ini penyidik itu polisi, ada PPNS, sekarang kemudian mau diberikan kewenangan penuh pada OJK. Harus ada transisi (KUHAP) seperti itu, penyesuaian," tambah Suparji.
Pertanyakan Success Story OJK
Prof Suparji lalu menyebut OJK pernah berperkara dengan Krama Yudha di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dalam putusan pengadilan, OJK kalah.
"Kalau kita ingat kasus Krama Yudha yang itu, dan diberikan sanksi oleh OJK karena perusahaan tidak menambah sahamnya, kemudian disanksi saham tidak punya hak suara, akhirnya kan itu kan dibawa ke PTUN," papar Prof Suparji.
"Dan di PTUN juga mereka kalah itu. Artinya kan proses hukum yang dilakukan menimbulkan keberatan dan ketidakpuasan pihak lain. Maka melihat kinerja seperti itu, ditambah lagi (kewenangan absolut-red) ini, kan bisa bahaya, bisa tumbuh masalah-masalah baru," sambung dia.
Prof Suparji juga mengulas kinerja OJK dalam mengatasi menjamurnya aplikasi pinjaman online (pinjol). Menurut Suparji, kerja penyidikan kejahatan oleh polisi dapat lebih masif karena Polri memiliki jajaran hingga ke tingkat kecamatan, yakni polsek.
"Dia (OJK) kan nggak punya perangkat. Kalau kemudian dia mau diambil sepenuhnya, dia kan nggak seperti polisi yang punya jajaran sampai ke polsek-polsek. Ya success story (OJK) juga dipertanyakan, asas yang pasal juga menimbulkan persoalan, lalu hukum acara belum dirubah" pungkas Suparji.