Ridwan Saidi, di Antara Jokowi dan Intel Yahudi

Sudrajat - detikNews
Selasa, 27 Des 2022 15:22 WIB
Ridwan Saidi (Agung Pambudhy/detikcom)
Jakarta -

Sabtu, 25 Agustus 2012. Sosok Ridwan Saidi terlihat di antara ratusan orang yang berkerumun mengikuti acara halalbihalal di Posko Kemenangan Jokowi-Ahok Jalan Borobudur Nomor 22, Menteng, Jakarta Pusat.

Mengenakan kopiah hitam serta kemeja dan pantalon yang juga serba hitam membuat penampilan si Babeh terlihat mencolok. Maklum, mayoritas relawan di sana mengenakan kemeja kotak-kotak merah-hitam ala Jokowi-Ahok.

Kala itu, Ridwan Saidi yang dikenal sebagai budayawan Betawi menjadi pendukung Jokowi-Ahok untuk menjadi gubernur DKI Jakarta. Tapi sokongan dan puja-puji yang pernah dilontarkannya cuma berlaku sekejap. Memasuki pertengahan 2013, sikapnya berubah 180 derajat. Di mata Ridwan Saidi, duet Jokowi-Ahok berubah menjadi penuh cela.

Terhadap Anies Baswedan pun demikian. Dia menyebut sang gubernur sebagai 'anak kemarin sore' gegara di akhir masa jabatannya mengubah beberapa nama ruas jalan. Menurut Ridwan Saidi, penamaan jalan di Jakarta punya sejarah panjang yang melekat, "Jadi jangan asal ganti, apalagi sama anak kemaren sore," ungkapnya.

Lahir dan besar di Jakarta, bahkan kemudian mendapat predikat budayawan Betawi bukan berarti Ridwan Saidi tak mengerti seni di luar itu. Kecerdasan dan pergaulannya yang luas membuat cita rasa seni Ridwan Saidi tergolong kosmopolit. Dia mengaku menggemari musik jazz. "Pertunjukan Tjok Sinsoe (alias George Rudolf Willems Sinsoe, paman dari Ireng Maulana) sampai Jack Lesmana (ayahnya Indra Lesmana) selalu saya tonton," ujarnya seperti ditulis Komunitas Bambu.

Semasa hidupnya, Ridwan Saidi punya beberapa predikat. Putra Betawi kelahiran Gang Arab atau Sawah Besar Gang VI, Jakarta pada 2 Juli 1942 itu antara lain dikenal sebagai politisi, budayawan, bahkan belakangan juga disebut-sebut sebagai sejarawan.

Ridwan Saidi dianugerahi kecerdasan, nyali, kemampuan bicara dan menulis, serta berorganisasi lebih dari memadai. Dia pernah menjadi ketua KNPI (1973-1978) dan Ketua Umum PB HMI (1974-1976), menggantikan Akbar Tandjung.

Selepas memimpin HMI, Ridwan Saidi menjadi anggota parlemen lewat Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) selama 10 tahun, 1977-1987. Di PPP Ridwan pernah disebut-sebut sebagai politisi kesayangan Jaelani Naro, ketua umum PPP. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai 'putra mahkota' untuk menggantikan Naro memimpin PPP.

Pada 1985 Ridwan Saidi memperkenalkan logo baru PPP buatannya. Wujudnya berupa bintang sudut lima yang berasal dari simbol Pancasila, untuk menggantikan simbol Ka'bah. Logo bintang buatannya itu mulai digunakan pada Pemilu 1987.

"Proses pembuatannya hanya satu hari. Tetapi proses pengendapannya yang lama," klaim Ridwan Saidi seperti ditulis Pusat Data dan Analisa Tempo.

Hal menarik, pada pengujung 1987 Ridwan Saidi justru hijrah ke Golkar. Setahun sebelumnya dia berselisih dengan J. Naro. Pangkalnya antara lain ketika dia mengusulkan agar AD/ART diubah menjadi partai terbuka. Artinya, non muslim pun boleh menjadi anggota PPP. Agustus 1987, DPP PPP memutuskan mendepak Ridwan karena dianggap indisipliner.

Ketika banyak pihak tercengang dengan keputusan tersebut, Ridwan Saidi membuat manuver yang lebih mencengangkan lagi. Dia hijrah ke Golkar yang lima tahun sebelumnya, 1982, pernah dia kritik dengan pedas. Kala itu, dalam sebuah kampanye di Sumatera Barat, Ridwan Saidi menjelek-jelekkan Golkar dan menyerang pemerintah.

Sekretaris Jenderal Golkar Sarwono Kusumaatmadja termasuk yang terkejut dengan langkah 'kutu loncat' Ridwan. Apalagi Ridwan bisa langsung mendapatkan kartu anggota padahal idealnya butuh setidaknya setahun. "Itu suatu toleransi yang luar biasa. Orang kan masih ingat pada 1982 dia ngapain," kata Sarwono seperti ditulis Majalah Tempo edisi 28 Mei 1988.

Mungkin karena punya 'dosa' masa lalu itulah, kiprah Ridwan Saidi di Golkar tak semoncer semasa di PPP. Pada 1995 akhirnya Ridwan mendeklarasikan Partai Masyumi Baru dan memimpin partai tersebut hingga 2003. Kali ini, perjuangan Ridwan Saidi pun tak seperti dicita-citakannya. Partai yang dipimpinnya tak meraih suara signifikan untuk mengantarnya ke Senayan.

Toh begitu, Ridwan punya kemampuan yang lain: Menulis. Kreativitias dan produktivitasnya menulis telah dia memanfaatkan sejak kiprahnya di DPR lebih banyak disumbat partainya. Suami dari Yahma Wisnani itu lantas menyuarakan pemikirannya melalui surat kabar.

Di luar artikel-artikel di media massa, Ridwan Saidi menerbitkan beberapa buku, antara lain: Golkar Pascapemilu 1992 pada 1993; Anak Betawi Diburu Intel Yahudi (1996); Profil Orang Betawi: Asal muasal, kebudayaan, dan adat istiadatnya (1997); Status Piagam Jakarta: Tinjauan Hukum dan Sejarah (2007).

Beberapa tahun terakhir, Ridwan Saidi bak selebriti di televisi. Wartawan senior Karni Ilyas memberinya panggung lewat acara Indonesia Lawyer Club (ILC). Hampir setiap pekan, dia tampil di ILC bersama para nara sumber lain seperti Rocky Gerung dan Sujiwo Tedjo.
Sebagai sejarawan, pernyataan-pernyataan Ridwan Saidi kerap menuai kontroversi. Ada yang menilainya dia sekedar mencari sensasi alih-alih menyodorkan bukti-bukti arkeologis sebagai pendukung argumentasinya.

Pada awal September 2019, misalnya, Ridwan menyatakan Kerajaan Sriwijaya fiktif dan tak lebih sebagai bajak laut. Dia juga menuding bahwa Raden Fatah itu Yahudi sehingga tidak berhak mendapat gelar raden.

Pada pertengahan Februari 2020, alumnus FISIP UI itu kembali menuai kontroversi setelah menyatakan tidak ada kerajaan di Ciamis dan arti 'Galuh' berarti brutal. Setelah diprotes budayawan dan para tokoh Ciamis, Ridwan Saidi akhirnya meminta maaf.

Pada Minggu pagi, 25 Desember 2022, dia mengembuskan napas terakhir akibat pendarahan otak dua hari sebelumnya. Ridwan Saidi dimakamkan di TPU Karet Bivak. Semoga di alam sana, dia kembali terhibur oleh Tjok Sinsoe dan Jack Lesmana, dua pemain jazz favoritnya.

Lihat juga video 'Sandiaga Uno Kenang Sosok Ridwan Saidi: Seperti Ensiklopedia Berjalan':






(jat/rdp)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork